Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Semenit dalam Benakku"

21 Maret 2016   15:16 Diperbarui: 21 Maret 2016   18:26 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan menungguku. Bagiku, terutama akhir-akhir ini, tidak ada menit yang ter(lalu) lama bagiku. Jadwalku penuh.

Terserah bila kamu mau menuduhku 'sok sibuk'. Aku bukannya mau menghindar. Hidupku bukan melulu tentangmu.

"Kenapa kamu tidak membalas WA-ku, sih?"

"Kenapa susah sekali menelepon kamu akhir-akhir ini? Kamu tidak pernah menjawabnya. Kalau pun iya, jawabnya lama sekali."

"Kamu nggak pernah ada lagi waktu untukku."

Di saat-saat seperti itulah, sesak kembali melandaku. Entah kenapa, akhir-akhir ini asmaku kambuh. Di mata benakku, kata-katamu berubah menjadi dinding-dinding beton besar yang mengepungku.

Aku tersiksa.

Semua gara-gara tuntutanmu. Makan malam terlama, setiap menitnya setara dengan sejam. Kamu bicara dan terus bicara, sementara aku hanya diminta duduk, diam, dan mendengarkan saja. Ingin kubantah, namun kamu malah marah. Katamu, istri yang baik harus selalu menuruti semua permintaan suami - tanpa terkecuali.

Ah, kemana dialog kita yang dua arah itu? Kemana kamu yang dulu?

Untung kita belum menikah. Wajah aslimu membuatku takut, tak hanya ragu. Terlalu cepat kau tunjukkan, tapi jujur - aku lega. Kurasa aku harus berterima kasih pada Tuhan sebelum akhirnya menjatuhkan keputusan.

Kubiarkan ponselku terus bergetar halus di atas meja. Aku tahu, WA terakhir dariku pasti membuatmu marah. Kamu sekarang tahu rasanya tidak didengarkan. Keputusanku sudah bulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun