Jangan menungguku. Bagiku, terutama akhir-akhir ini, tidak ada menit yang ter(lalu) lama bagiku. Jadwalku penuh.
Terserah bila kamu mau menuduhku 'sok sibuk'. Aku bukannya mau menghindar. Hidupku bukan melulu tentangmu.
"Kenapa kamu tidak membalas WA-ku, sih?"
"Kenapa susah sekali menelepon kamu akhir-akhir ini? Kamu tidak pernah menjawabnya. Kalau pun iya, jawabnya lama sekali."
"Kamu nggak pernah ada lagi waktu untukku."
Di saat-saat seperti itulah, sesak kembali melandaku. Entah kenapa, akhir-akhir ini asmaku kambuh. Di mata benakku, kata-katamu berubah menjadi dinding-dinding beton besar yang mengepungku.
Aku tersiksa.
Semua gara-gara tuntutanmu. Makan malam terlama, setiap menitnya setara dengan sejam. Kamu bicara dan terus bicara, sementara aku hanya diminta duduk, diam, dan mendengarkan saja. Ingin kubantah, namun kamu malah marah. Katamu, istri yang baik harus selalu menuruti semua permintaan suami - tanpa terkecuali.
Ah, kemana dialog kita yang dua arah itu? Kemana kamu yang dulu?
Untung kita belum menikah. Wajah aslimu membuatku takut, tak hanya ragu. Terlalu cepat kau tunjukkan, tapi jujur - aku lega. Kurasa aku harus berterima kasih pada Tuhan sebelum akhirnya menjatuhkan keputusan.
Kubiarkan ponselku terus bergetar halus di atas meja. Aku tahu, WA terakhir dariku pasti membuatmu marah. Kamu sekarang tahu rasanya tidak didengarkan. Keputusanku sudah bulat.