Halal bi halal...dan daftar pertanyaan 'generik'? Hah, apaan tuh??
Sebelumnya, halal bi halal itu apa, sih? Bagi yang merayakan Idul Fitri, kita mengenalnya sebagai tradisi berkumpul bersama keluarga, bertemu kawan lama saat dan setelah Lebaran - minimal setahun sekali. Biasanya berupa makan bareng, saling bermaaf-maafan, hingga bertukar cerita.
Lalu, apa maksud saya dengan 'pertanyaan generik'? Yang pasti, pertanyaan-pertanyaan yang termasuk berpotensi bikin jengah dan 'mengganggu' niat luhur silaturahmi, apalagi bila disampaikan dengan nada yang 'kurang enak' didengar - apalagi bagi kaum Hawa yang masih lajang.
Ini dia - daftar pertanyaan generik yang suka keluar pas halal bi halal:
"Kok gendutan?"
"Mana pacarnya?"
"Belum ada pacar? Tante kenalin ama anaknya Om .... , ya?"
"Ini pacarnya? Kapan nikah?"
"Kapan punya momongan?" / "Gimana, udah 'isi' belum?" --> Ini dia pertanyaan yang paling makjleb bagi pasangan yang belum juga dikaruniai anak, apalagi bila mereka sudah cukup lama menikah. Ngomong-ngomong soal 'isi', menurut saya cara nanyanya juga 'enggak banget'. Memangnya badan perempuan ibarat gentong yang harus diisi-isi? Udah ada isinya, kali - yaitu organ tubuh. (Dan please deh, gak usah pake acara komentar: "Hiiih!")
"Si .... (nama anak) kapan punya adik?"
(Selanjutnya silakan ditambah sendiri)
Oke, sebelum pada menuduh saya kelewat sinis, sensi, nyinyir, nggak bersyukur udah / masih diperhatikan, atau apalah namanya... begini aja, deh. Mendingan kita semua saling bekerja sama agar suasana halal bi halal lebih menyenangkan dan nyaman bagi semua pihak. Bukan apa-apa, masalahnya banyak teman-teman saya (lagi-lagi terutama sesama perempuan lajang) yang kadang jadi enggan - hingga cenderung ogah-ogahan - menyambut acara akbar ini. Ada yang jadi bete, uring-uringan, hingga memilih kerja pas hari libur atau kabur ke luar kota / negeri dengan beragam alasan, dimana mereka nggak perlu mendengar pertanyaan-pertanyaan 'generik' barusan. Serius.
"Ya udah, cuekin aja mereka."
Serius? Serba salah, nih. Dari tahun ke tahun yang ditanya itu-itu saja. Memangnya nggak pada eneg, ya? Kalau dicuekin (apalagi bila yang bertanya lebih tua dan - aduh! - termasuk figur dominan yang dihormati di keluarga besar), bisa-bisa kita yang dituduh kurang ajar alias nggak sopan. (Biasa, 'kan?) Kalau membantah atau pasang wajah bete juga begitu. Meski pertanyaan-pertanyaan (dan komentar-komentar) tersebut bikin panas kuping dan hati, tetap saja kita yang akan disalahkan bila bereaksi terlalu 'keras' alias negatif. (Apa iya Indonesia akan selalu begini?)
Kalau sok cool dan meladeni dengan senyum palsu, tetapi dalam hati sebenarnya dongkol? Ya, itu namanya sama saja dengan menyiksa diri sendiri. Yang bertanya (atau menginterogasi?) juga tidak akan merasa salah alias sah-sah saja bila mereka kepo dan mengkritik begitu mendapat respon yang tidak mereka harapkan. Apalagi bila akhirnya mereka selalu memberi wejangan serupa dari tahun ke tahun ibarat siaran ulang. Kalau masih pada tahan sih, nggak masalah. Kalau enggak? Apalagi bila kita sudah mengikuti semua saran mereka (terutama yang kata mereka "dijamin ampuh" ), namun ternyata Tuhan memang belum berkehendak. Nah, lho! Hasilnya masih sama atau malah lebih parah. (Terus bagaimana, dong?) Yang ada, lagi-lagi malah kita yang dituduh 'kurang usaha'. Hiks. Seolah mereka guru paling killer di sekolah dan kita selalu (dianggap) gagal meraih skor 100 sesuai maunya mereka. Kriteria sempurna yang seakan menjadi tolak ukur kesuksesan kita dalam hidup sebagai anak manusia. Pendikte kebahagiaan hidup kita.
"Elo kok, sinis banget gitu, sih?" Tuh, 'kan. Lagi-lagi... "Mereka 'kan cuma bermaksud baik. Kenapa nggak jawab: 'Doain aja'? Gitu aja susah banget!"