Mohon tunggu...
Elyon School
Elyon School Mohon Tunggu... -

Elyon Christian School is a leading Christian School that was founded in 2002. ECS is owned by GKA Elyon (one of the largest churches in Surabaya). ECS are commited to educating our children to be victorious leader in Christ where Christian values, holistic learning and wise characters are rooted in each child's academic, social, emotional, and spiritual development.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Kami Juga Anak Anda

16 November 2017   08:32 Diperbarui: 16 November 2017   09:14 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan lalu kami tim guru duduk bersama untuk saling berbagi mengenai perkembangan anak-anak kami di sekolah. Bukan perkembangan akademik saja yang kami diskusikan, melainkan juga kesehatan karakter anak-anak kami.

Dari hasil diskusi kami setidaknya ada beberapa temuan penting untuk kita renungkan bersama. Pertama,anak-anak hari ini berbeda dengan anak-anak zaman dulu. Generasi sekarang berbeda dengan generasi kita. Ini yang terlihat, tetapi benarkan ini yang sedang terjadi? Dahulu, murid masuk ke ruang guru dengan langkah perlahan, suara yang kecil ketika berbicara dan tindak-tanduk yang penuh kesopanan. Sekarang kita menjumpai fenomena murid yang keluar masuk ruang guru yang mana banyak di antaranya lupa memberi salam. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dahulu, anak harus menyapa sambil sedikit membungkukkan badan ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua atau melewati yang sedang berbicara.

Sekarang ini tidak sedikit anak-anak di lingkungan kita yang bahkan berlari di tengah-tengah orang-orang yang sedang berbicara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dahulu, anak-anak akan berjalan tertunduk lesu jika nilai ulangan yang dibawa pulang tidak bagus, karena mereka tahu akan mendapatkan banyak cecaran pertanyaan dari orangtua mereka. 

Tidaklah demikian dengan yang terjadi hari-hari ini. Orangtua akan mendatangi guru jika nilai ulangan anak mereka tidak bagus dan mencecar dengan banyak pertanyaan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dahulu, kita diajar untuk mengatakan "permisi", "tolong", dan "terimakasih". Apakah kita masih menjumpai anak-anak kita fasih bicara kata-kata tersebut?

Benarkah anak-anak sudah berubah? Benarkah generasi ini sudah berubah? Tidak! "Perubahan" yang kita keluhkan ini sebenarnya tidak pernah terjadi, karena faktanya, anak-anak kita tidak tahu apa-apa.

Anak tumbuh menjadi seseorang yang kelak disebut dewasa melalui proses. Tanpa proses, tanpa pertumbuhan, anak-anak tetaplah anak-anak. Lalu pertanyaan yang muncul, apa atau siapa yang berubah? Kitalah yang berubah! Siapa yang dimaksud dengan "kita"? KITA adalah orangtua dan guru. Dewasa ini banyak orangtua dan guru yang lebih memfokuskan perhatian kita terhadap perkembangan akademik anak daripada perkembangan kesehatan karakter mereka. 

Fenomena ANAK ADALAH RAJA membuat pendidikan karakter luntur dengan sendirinya. Berapa banyak di antara kita membiarkan tas atau barang bawaan anak kita dibawakan oleh supir dan pembantu ketika anak sebenarnya bisa membawa barang-barang itu sendiri? Berapa banyak di antara kita meluangkan waktu menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan sekolah? Berapa banyak kita para guru yang memilih untuk melanjutkan pelajaran karena terbatasnya waktu alih-alih mendisiplinkan murid bermasalah? Berapa banyak di antara kita merasa tidak perlu menegur anak yang berjalan begitu saja tanpa menyapa kita?

Semua yang kita lihat pada generasi sekarang --suka atau tidak suka untuk diakui, adalah hasil dari perubahan konsep pikiran dan tindakan kita sebagai orang-orang yang membentuk mereka. Orangtua dan guru yang benar akan mengutamakan nilai sopan santun dan kedisiplinan di atas segalanya. Hasilnya, kita menjadi orang-orang yang tangguh, memiliki tingkat survival yang baik, tidak mudah menyerah pada tantangan, dan memiliki jaringan atau networkingpertemanan yang luas yang menolong kita dalam banyak hal. Bayangkan jika pola atau cara mendidik kita mengalami degradasi (baca: penurunan), apa yang akan terjadi dengan generasi berikutnya?

Kedua,orientasi hasil lebih tinggi dibandingkan dengan orientasi proses. Hari-hari ini banyak fenomena orangtua yang cemas melihat anak-anaknya seakan-akan gagal meraih ini dan itu. Contoh yang paling sederhana adalah jika kita melihat respon orangtua yang balitanya jatuh ketika belajar berjalan atau sedang bermain. Sebagian orangtua akan panik dan setengah berlari untuk segera "menyelamatkan" sang anak, mengangkat sang anak, mencegahnya untuk kembali bangun, beberapa melarang anak untuk lanjut bermain. Padahal, jatuh adalah proses yang wajar bagi mereka yang sedang belajar, baik itu dalam berjalan, bermain, atau bahkan hidup. 

Hal lain yang sering kita jumpai, orangtua yang tergopoh-gopoh datang ke sekolah membawakan buku, tugas, atau PR anaknya yang tertinggal supaya anaknya tetap bisa mendapatkan nilai hari itu. Kita lupa bahwa kita sedang menjadi "penolong yang mencelakakan". Mengapa demikian? Kita berpikir kita menolong anak-anak kita, mencarikan jalan keluar untuk mereka supaya mereka tidak menerima konsekuensi dari keteledorannya. Namun pada akhirnya, yang terjadi adalah, anak-anak ini jadi tidak terbiasa dengan yang namanya konsekuensi. 

Bukankah dahulu leluhur kita mencamkan baik-baik kalau mau makan harus kerja, kalau mau berhasil harus rajin,dan sebagainya? Belajar tidak hanya soal kognitif, tidak hanya terjadi di ruang kelas. Pelajaran-pelajaran hidup seperti bekerja keras untuk membuahkan hasil, melakukan apa yang menjadi tanggung jawab, dan menerima konsekuensi dari kesalahan, semua ini harus diajarkan dan dipraktikkan sejak dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun