Jogja dan Juni, mereka adalah sebuah pasangan yang selalu punya cerita. Di bulan ini, Jogja pada siang hari terasa begitu terik dan malam hari tak pernah gagal membuat kita menggunakan baju panjang dan mengusap badan. Angin serasa bisa masuk dari celah baju dan memeluk tubuh yang merindukan kehangatan. Apalagi Juni kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, malam yang dingin tak pernah berteman dengan perut kosong yang seharian tak diberi makanan. Sudah tak sabar rasanya ia untuk diisi dengan berbagai macam makanan yang ramai dijajakan.
Handphone saya bergetar, terlihat ada pesan masuk dari pacar saya. Beberapa saat sebelum itu saya memang mengajak dia untuk buka puasa bersama. Saya dan dia memang menggemari berwisata kuliner. Biasanya ketika sedang bersama kami selalu menyempatkan untuk mencicipi satu kuliner khas. Malam itu kami berencana untuk menikmati kudapan yang sangat dia sukai yakni, Bakmi Jawa. Favoritnya adalah sebuah warung di Jl. Parangtritis yang bernama Bakmi Harjo Geno.
Matahari mulai turun ke peraduan seraya ditemani suara adzan berkumandang. Kami sudah bersama dan menutup puasa hari itu dengan minum segelas air. Tak menunggu lama, segera kami berangkat untuk mbakmi berdua. Mengendarai motor melewati pojok beteng timur, kami mengambil arah selatan. Beberapa ratus meter setelahnya, di sebelah kiri jalan terdapat sebuah pasar bernama Pasar Prawirotaman. Berhenti kami disana dan masuk kedalamnya.
Kami lalu menyapa Ibu dan Bapak dan saling bertukar senyum, mereka mungkin familiar dengan kami karena beberapa kali kesini namun antriannya membuat kami gedheg-gedheg sambil mesam-mesem. Pernah kami datang dan nomor antrian sudah 11, 14, bahkan 18, kami pulang dengan tangan hampa. Supaya tidak terlalu mengantri lama datanglah sedikit lebih awal, setelah maghrib tapi tidak lebih dari setengah 8. Jika datang lebih dari waktu itu, siap siap saja mengantri lama.
Lalu menambahkan komponen komponen yang sebelumnya terlah ia persiapkan. Potongan daun bawang, ayam, kubis serta helai helai mie ia rebus bersama. Sedikit mengaduk-aduk, Bapak lalu membiarkan rebusan tadi mendidih sebentar. Setelah dirasa cukup, Bapak menuangkan seporsi bakmi godhog tadi ke sebuah mangkok dan Ibu bertugas mempercantik makanan tersebut dengan menambahkan bawang goreng di atasnya.
Pacar saya juga tak mau kalah, ia menikmati Bakmi Godhog nya dengan menambahkan cabe hijau dan memotongnya menggunakan sendok. Ia menyukai bakminya sedikit lebih pedas, tak seperti saya yang lebih memilih merica ketimbang cabai hijau. Ekpresi bahagia pun datang dari wajah cantiknya, seketika dia bilang, "Enak! Enak! hmmm". Melihatnya begitu, saya hanya bisa tersenyum gembira. Makin khusyuk kami menikmati semangkok Bakmi itu, mie nya terasa kenyal, tidak mblenyek dan beberapa kali sempat kami merasakan "krenyes" dari kubis dan daun bawang. Telur bebek memang paling cocok jika disajikan dalam sebuah bakmi jawa. Ia mengangkat rasa menjadi sangat gurih, dan memberikan warna dalam masakan tersebut.