Ramadhan adalah salah satu bulan yang paling ditunggu di kota Gudeg, Jogjakarta. Jogjakarta selain terkenal dengan gudegnya, juga terkenal dengan semaraknya kota ini dalam menyambut bulan Ramadhan. Beribu santri yang "mondok" disini berbondong-bondong merancang agenda kegiatan Ramadhan yang kreatif, seperti lomba lomba, pentas seni, pawai, serta seminar-seminar. Jogja memang erat dengan agama Islam karena Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia lahir disini. Ada juga kampung santri yang terletak di daerah Krapyak, disebut seperti itu karena banyaknya pondok pesantren di kawasan ini. Sudah tidak bisa disangkal, bulan Ramadhan di Jogjakarta selalu bisa menimbulkan kenangan yang berkesan.
Sore itu, saya sedang menghabiskan waktu saya menunggu waktunya buka
puasa. Setelah beberapa hari lalu sempat membuat
kue bolu kukus, kali ini saya ingin merasakan pengalaman buka bersama di
Masjid. Kegiatan ini sudah terencana dari jauh-jauh hari tetapi belum pernah terlaksana karena terlalu sering menerima ajakan buka bersama dengan teman. Akhirnya saya
browsing masjid mana yang menu buka puasanya enak dan banyak. Soal perut kita tidak boleh kompromi,
betul kan? Saya menggunakan
HP Andromax RÂ saya untuk
browsing, dan akhirnya saya bertemu dengan
Masjid Jogokariyan. Lokasi Masjidnya tidak terlalu jauh dengan rumah saya ternyata.
Tak perlu berlama-lama, sore itu juga saya lalu meluncur kesana. Meskipun tidak terlalu jauh dengan rumah saya, tetapi saya belum pernah menuju ke Masjid tersebut. Saya manfaatkan saja HP canggih bernama Andromax R dengan koneksi 4G LTEnya yang terkenal itu, saya set Google Maps di Andromax R saya untuk menuju Masjid Jogokaryan. Koneksi 4G LTEnya yang sangat cepat itu benar benar membantu saya. Saya tidak menunggu lama untuk petanya muncul penuh di HP saya dan selama perjalanan saya tinggal mengikuti arahan dari Google Maps. Saya akhirnya sampai, tidak nyasar sedikitpun.
(dok. Pribadi) stan kuliner pempek panggang
Ketika saya sampai di daerah Jogokariyan, gapura
Kampoeng Ramadhan Jogokariyan #12 dengan jelas dapat saya lihat. Saya terus saja melanjutkan perjalanan, karena
Maps saya belum menyuruh saya berhenti. Beberapa ratus meter kedepan, Maps saya bilang kalau saya sudah sampai, saya lalu memarkir motor dan turun. Bangunan dari Masjid Jogokariyan adalah yang berwarna hijau itu. Sepanjang jalan Jogokariyan ini suasanyanya sangat meriah dengan dekorasi-dekorasi bernuansa Ramadhan. Panitia Kampoeng Ramadhan Jogokariyan juga mengikutsertakan warga sekitar untuk turut serta meramaikan agenda Ramadhan ini dengan mengisi
stand-stand kuliner di sepanjang Jalan tersebut. Ada ratusan
stand kuliner yang menjual berbagai macam makanan dan minuman seperti sosis bakar, pempek panggang, jajanan pasar, bakso, es buah, sampai
tahu bulat yang digoreng dadakan, semua ada.
dok. pribadi menyiapkan takjil
Setelah berkeliling melihat
stand-stand kuliner, saya langsung masuk ke area Masjid Jogokariyan. Begitu masuk, saya langsung kaget dengan tumpukan piring yang menggunung. Saya tidak melebih-lebihkan, ini
benar benar menggunung. Tumpukan piring tersebut rupanya adalah
takjil yang akan diberikan kepada jamaah yang akan berbuka puasa di Masjid Jogokariyan. Karena begitu penasaran, saya lalu mencari orang untuk saya
"tanya-tanyai". Dari hasil obrolan tersebut barulah saya tahu bahwa Masjid Jogokariyan setiap harinya menyiapkan tak kurang dari
1500 porsi takjil. Dana yang dibutuhkan untuk membuat
segini banyak porsi selama satu bulan Ramadhan ditaksir mencapai
Rp. 190an juta rupah.Â
"Banyak juga ya ternyata", gumam saya. Dana Rp.190an juta tadi didapat dari donasi. Menariknya, 40% dari jumlah donasi didapat dari Facebook. "Koq bisa?" tanya saya. Ya, Masjid Jogokariyan termasuk masjid yang sering mengupdate semua informasinya di dunia maya (Facebook, website, twitter, & Youtube), tak heran jadinya mereka bisa mendapatkan aliran dana dengan cara tersebut. Selain menyediakan takjil, kegiatan di Masjid ini ada lomba-lomba memperingati bulan Ramadhan, workshop, talkshow, seminar, Itikaf, serta tausiyah menjelang berbuka puasa. Saya melihat apa yang dilakukan oleh Masjid Jogokariyan ini mirip dengan apa yang dilakukan di Masjid Nabawi, dimana merangkul kegiatan-kegiatan yang erat kaitannya dengan ibadah Muamalah.Â
(dok. pribadi) ibu ibu hebat
Untuk membuat sejumlah porsi takjil, ada sekitar
280 orang yang terbagi menjadi
 30 kelompok ibu-ibu yang tugasnya menyiapkan menu berbuka tersebut. Setiap kelompok mendapat gilirannya sendiri-sendiri untuk memasak makanannya. Para pemuda sekitar juga bisa membantu dengan urun tenaga membantu mencucikan piring setelah digunakan oleh jamaah. Masyarakat dari luar daerah Jogokariyan bisa membantu dengan bentuk donasi, satu porsi takjil menghabiskan biaya sekitar
 Rp. 7.000, tetapi panitia masjid tidak membatasi berapa rupiah yang didonasikan. "Berapapun akan kami terima", katanya.
(dok. pribadi) Nyinom / Laden
(dok. pribadi) menu hari ini
Piring terbang yang saya maksud dalam judul bukanlah piring terbang
UFO. Piring terbang yang saya maksud adalah
kebudayaan mengantarkan makanan menggunakan krat kepada seluruh tamu atau dalam kasus ini adalah jamaah. Di Jogjakarta sendiri, sudah mulai susah untuk menemukan tradisi seperti ini. Biasanya tradisi piring terbang ini bisa kita lihat di
kondangan-kondangan adat Jawa, namun makin kesini makin tergeser dengan maraknya kondangan menggunakan cara makan prasmanan, dikarenakan cara prasmanan tidak terlalu repot.
Mengapa disebut piring terbang? jawabannya adalah karena para sinom/laden atau pelayan membawa krat berisi piring itu biasanya mengangkat kratnya diatas kepala, sehingga orang orang dapat melihat atau segera awas agar memberikan jalan. Para tamu tidak mengambil sendiri makanannya, tetapi diantarkan oleh para sinom. Piringnya datang sendiri. Oleh karena itulah, tradisi ini disebut piring terbang/ USSDEK kependekan dari Unjukan (minuman), Snack (makanan kecil), Sop (makanan pembuka), Dhaharan (makanan inti), Es (dessert), Kondur (pulang). Sangat menarik melihat pemandangan seperti ini di Masjid, karena masjid yang dekat dengan urusan agama tetapi tidak meninggalkan khasanah kebudayaan Indonesia.
(dok. pribadi) berbuka puasa
(dok. pribadi) meriahnya buka bersama
Menu takjil pada hari itu adalah seporsi
nasi soto ayam dengan setengah potong telur pindang, dengan 3 buah kurma dan 3 buah lengkeng, serta tak lupa minumannya adalah segelas
setup nanas. Setelah adzan berkumandang, kami lalu buka bersama para jamaah yang lain. Buka bersama mengajarkan kita tentang keberkahaan, nikmat puasa, serta silaturahmi yang harus tetap terjaga antar umat muslim. Para jamaah lain dan saya sangat lahap menghabiskan takjil yang disediakan untuk kami.
Rasa nasi soto yang disuguhkan terasa sangat nikmat dan segar, ditambah suwiran ayam dan potongan telur yang makin melengkapi nikmat berbuka kami. Malam itu adalah kali pertama saya minum setup nanas, rasanya manis dan ada aroma kayumanis yang sangat harum masuk kedalam rongga hidung saya. Buka bersama memang istimewa ! Porsi dari takjil menurut saya juga sangat pas, tidak berlebihan sehingga para jamaah tidak memerlukan waktu lama untuk menghabiskannya dan langsung bersiap untuk sholat maghrib setelahnya.
Lihat Humaniora Selengkapnya