Suatu ketika ada anak rantau dari Jakarta yang baru saja pulang dari Semarang untuk melepas rindu setelah satu semester berkuliah di sana, ia ditanya oleh salah satu temannya di Jakarta:Â
'Bro, udah lama nich kita kaga ketemu, jadi kangen gua. Betewe lu kuliah di mana?' Sang anak rantau itu menjawab: 'Di Undip bro, gua kuliah ekonomi'. Temannya langsung menimpali: 'Ooh, yang di Tembalang itu ya? Waduhh gacor banget, bisa dapet kuliah di Undip.'
Kutipan percakapan tersebut mengawali pembahasan tentang kawasan Undip dan first impression yang didapat tentang Undip. Apabila seseorang menanyakan di mana Undip, atau bagaimana Undip itu, tentu jawabannya merujuk kepada satu tempat, yaitu kawasan perbukitan di kawasan Semarang bagian selatan yang bernama Tembalang.Â
Hal ini tentunya disebabkan oleh pemusatan kegiatan akademik Undip di tingkat S1 maupun D3/D4 di kawasan Tembalang yang berakibat munculnya usaha kos-kosan dan warung burjo yang memiliki sentuhan kekinian, yang menjadi 'magnet' bagi mahasiswa rantau untuk melepas penat maupun mengerjakan tugas kuliah.Â
Namun, ada satu yang terlewatkan bagi generasi saat ini, bahwa dahulu, Universitas Diponegoro pernah memiliki kampus di Pleburan, dekat Simpang Lima.Â
Mungkin hanya segelintir orang yang tahu, termasuk warga asli Pleburan maupun yang pernah berkuliah di Undip Pleburan, bagaimana geliat kehidupan di pinggir Jalan Hayam Wuruk dan sekitarnya pernah ada, yang tentunya berkurang pada saat ini.Â
Pleburan dalam Lintasan Zaman
Sebelum dikembangkan menjadi kawasan terpadu Universitas Diponegoro, dahulu Pleburan dan kawasan Simpang Lima adalah tanah rawa, begitulah menurut pendapat Jongkie Tio, salah satu pemerhati sejarah Kota Semarang.Â
Bahkan, lahan yang sekarang dijadikan sebagai Masjid Al-Fath Pleburan itu, konon adalah pecahan kapal dari Ki Dampo Awang, sebutan lain dari Sam Poo Kong.Â