Penggunaan teknologi informasi yang sangat menjamur tersebut malah menyulitkan pengendalian dari orang tua dan institusi pendidikan sehingga generasi tersebut (generasi Z) dapat dianggap sebagai 'generasi yang manja' dan 'generasi serba instan'Â karena ketergantungannya terhadap teknologi.Â
Keranjingan teknologi seperti ini justru menjadi malapetaka karena akan menimbulkan kecanduan gadget yang berakibat kurangnya penghormatan terhadap guru.
Pada zaman dahulu, ketika guru sedang menjelaskan, semua murid memperhatikan gurunya dengan baik. Tak dapat terbayang apabila seorang murid mengobrol pada teman sebangku jika proses belajar-mengajar sedang dilaksanakan.Â
Entah penghapus melayang atau gamparan dari gurunya siap menanti sang murid. Kalaupun bisa mengadu ke orang tuanya, justru laporannya itu tak digubris sama sekali.Â
Di zaman sekarang, guru malah semakin permisif dengan perbuatan semacam itu, karena ada lembaga-lembaga 'pembela hak asasi manusia' yang siap menampung laporan dari sang orang tua murid jika tamparan melayang dari sang guru mengenai wajah muridnya sendiri atau dibentak-bentak karena merokok di dalam kelas.Â
Sang guru bisa jadi disamakan dengan penjahat seksual dan mendekam di jeruji besi apabila melakukan hal tersebut.Â
Yang kedua, sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai dan material tanpa disertai dengan pendidikan tata krama membuat murid-murid justru berani untuk melakukan sesuatu yang tak terpuji baik di dalam maupun luar sekolah, meskipun aksi-aksi mereka di luar nalar.Â
Sistem pendidikan di Indonesia sendiri apabila dibandingkan di Finlandia maupun negeri-negeri Islam seperti Arab Saudi dan Mesir, bagaikan air dan api.Â
Apabila di Finlandia pendidikannya berbasis pada keahlian dan di Arab Saudi maupun Mesir berkutat pada pengembangan agama Islam, di Indonesia sarana pendidikan malah digunakan semata-mata untuk mengejar nilai dan akreditasi.Â
Sistem semacam ini justru membahayakan generasi muda Indonesia, yang seharusnya dididik dengan tata krama dan nilai-nilai agama, malah menjadi beringas di dalam dan luar sekolah. Bahkan ada yang tak segan untuk melakukan joget pargoy di dalam kelas, seolah-olah guru hanya menjadi bahan olokan muridnya.Â
Sebenarnya, hal-hal fundamental seperti pola asuh hingga sistem pendidikan bisa dibenahi secara radikal, bukan hanya gonta-ganti kurikulum.