Mohon tunggu...
Ruben Abdulrachman
Ruben Abdulrachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Someone who's treating life as a vacation

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berita, Lembaga Sensor & Papua Barat

16 Desember 2014   20:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari mulai zaman kolonial, zaman Belanda menduduki dan menjajah Hindia Belanda(sekarang Indonesia), berita dengan berbagai macam bentuk dan medianya tentu menjadi pedoman banyak golongan di daerah jajahan tersebut. Terdapat sumber berita kolonial yang dipegang oleh Belanda atau Gubermen, juga sumber berita de Locomotief, Indische Partij dengan koran de Expres, dan yang menjadi daya tarik tersendiri yaitu Medan Prijaji yang dikontrol pribumi. Yang terakhir menjadi kunci karena dibaca oleh pribumi dengan jumlah yang mengagumkan, hari demi hari semakin dibuka matanya akan penjajahan yang sedang dialaminya.Keberagaman inipun terus dipelihara hingga sekarang. Golongan yang berkembang sekarang, bukan lagi hanya dibatasi oleh golongan ras dan agama, namun juga ditambah dengan ideologi, kecenderungan dan kiblat cara pandang. Ini tentu sangatlah wajar. Karena sesungguhnya satu manusia di dunia ini takkan punya perspektif pemikiran yang sama persis dengan yang lainnya. Walau dididik dan dibesarkan dalam satu atap pun, pasti ada hal yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya. Dari kesukaannya terhadap ikan bakar, penghindarannya terhadap sayuran, sampai kecenderungannya berpikir dengan paham pancasila demokratis, atau mengarah ke islam syariah.Namun jelas, lembaga sensor itu perlu adanya. Pada zaman kolonial, sangat penting adanya mata dan telinga yang dapat meredam kesadaran terpelajar pribumi akan penjajahan Belanda bila sudah terlalu membahayakan stabilitas politik. Pandangan-pandangan liberal sangatlah bertolak belakang dengan kehendak para petinggi kolonial di Hindia Belanda. Dari pengasingan pendiri-pendiri Indische Partij ke Belanda, pengasingan Tirto Adhi Soerjo ke pulau Bacan, sampai Pulau Buru yang menjadi tempat pengasingan Pramoedya Ananta Toer. Tentu badan pengontrol media ini akan menjadikan gambaran yang jahat dan kejam untuk petinggi-petinggi Hindia Belanda pada saat itu bahkan juga sekarang. Tapi akan lebih mudah memahami maksud dan tujuan pengasingan-pengasingan ini apabila kita menempatkan kita di tempat yang menjajah. Kita, Indonesia? Pernah menjajah?Ambil contoh Papua Barat. Apa kita boleh tenang-tenang saja akan organisasi yang ingin memerdekakan Papua Barat seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka)? Apa justru kita harus mendukung OPM untuk merdeka? Apa kita kejam merampas hak mereka untuk merdeka? Apa kita sama dengan para penjajah Belanda yang dulu menjajah Bangsa Indonesia? Kalaupun beda, apa letak bedanya sungguh signifikan? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul di benak kita semua. Kita tentu ingin Papua barat tetap berada dalam bagian NKRI karena memang dari mulai Indonesia merdeka 1945 sampai sekarang ya Papua Barat itu memang bagian dari NKRI, bukan? Ini prinsipnya jelas sama dengan apa yang dipikirkan petinggi-petinggi Hindia Belanda sebelum 1945.Sebelum itu, apa tidak lain kalau mereka menganggap tanah Hindia Belanda itu adalah bagian dari Belanda? Benderanya? Bendera Belanda (Merah Putih Biru)Pemerintahan? Dipimpin oleh Gubernur Jenderal. (Salah satunya Gubernur Jenderal Idenburg pada 1909-1916. Penduduknya? 97% Pribumi. (Bangsa Eropa hanya 0.4%) Semenjak 1965, OPM didirikan untuk memerdekakan Provinsi Papua Barat dari pemerintahan (penjajahan) Indonesia. Organisasi ini diredam karena akan memicu terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut. Kalau tidak ada larangan dan redaman yang dapat menandingi gerakan OPM ini, tentu sekarang kita akan melihat bendera bintang kejora tercantum di buku-buku geografi dunia. Kekerasan jugalah yang harus menjadi jalan, dan saya tidak berbicara puluhan tahun yang lalu. Beberapa tahun ini, beberapa bulan ini, detik ini, sekarang dan kemungkinan besar besokpun masih akan terus terjadi. Ini sungguhan.(Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua)- Juli 2009: insiden pengibaran bendera Papua Barat oleh OPM di desa Jugum, kemudian lebih dari 30 rumah dibakar dalam sebuah operasi TNI.-12 Desember 2011: kepolisian menyergap markas grup lokal OPM. Polisi menyita senjata api, amunisi, pisau, perlengkapan perang, dokumen, bendera Bintang Kejora dan menewaskan 14 militan.Belanda kehilangan otoritasnya atas Hindia Belanda karena diambil alih oleh kekaisaran Tentara Jepang setelah lebih dari 3 abad menjajah Indonesia. Dan Jepang, kehilangan otoritasnya atas Hindia Belanda setelah 3 tahun karena runtuh kekaisarannya oleh bom atom Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Belanda kembali dan memimpin Hindia Belanda dengan Komisaris Besar sampai akhirnya pada 27 Desember 1949 dengan pendirian Republik Indonesia Serikat. Yang menjadi penting disini adalah perbedaan bahwa sudah matang dan kuatnya terpelajar pribumi. Karena demikian, Republik Indonesia Serikatpun berhasil diruntuhkan pada 17 Agustus 1950.Beberapa tahun tanpa pengontrol media ataupun lembaga sensor inipun yang saya anggap ikut mengambil bagian dari perkembangan terpelajar pribumi di Indonesia (sudah merdeka, terhitung 1945). Ini membuktikan kepentingan khusus lembaga sensor yang tak terpungkiri lagi. Apa sejarah perlu terulang lagi dan membuat Papua Barat untuk merdeka? Walau begitu, perlakuan OPM untuk merdeka saat ini masih melalui senjata-senjata dengan cara-cara yang anarkis. Mungkin mereka nanti akan mengerti lebih pentingnya tulisan-tulisan dan dorongan-dorongan kaum terpelajar untuk mengambil jalan damai. Karena sesungguhnya pensil, kertas, orasi dan dukungan damai dari dunia (cara Soekarno) akan lebih berarti dibanding senjata dan peluru. Apa hak asasi manusia dan nasionalisme haruslah sungguh bertolak belakang? Apa rangkulan damai untukmu berarti menghina tidak berartinya hak bernegara dan nasionalismemu, Papua Barat?Apa perlukah jalan anarkis, Papua Barat?Apa perlu referendum, Papua Barat?Apa menyebut 'Kita satu Indonesia' menghina nasionalismemu, Papua Barat?Apa haruskah presiden kita pergi kesana dan menghiburmu selalu, Papua Barat?Hak istimewa mungkin?Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun