Beberapa waktu yang lalu, media di Australia diwarnai dengan berita tentang rencana efisiensi yang akan dilakukan oleh Qantas termasuk pengurangan 5.000 karyawan. Qantas juga disebut-sebut mengajukan pinjaman lunak senilai $3 miliar kepada pemerintah selaku pemegang saham. Beberapa analis menyebutkan bahwa krisis keuangan global telah mengurangi jumlah wisatawan ke Australia. Pada saat yang sama nilai dollar AUD juga menguat karena ekspor komoditas dari Australia yang tinggi. Hal ini berimbas pada penurunan jumlah penumpang Qantas. Wajar jika Qantas kemudian berencana melakukan rencana pemangkasan biaya dan mencari pinjaman untuk bersaing di industri penerbangan.
Pemerintah Australia merespon rencana Qantas dengan mengajukan rencana pelonggaran kepemilikan dan operasional Qantas yang tercantum dalam Qantas Sale Act. Pelonggaran tersebut antara lain dengan mencabut pembatasan kepemilikan asing atas Qantas maksimal 49%, kantor pusat Qantas harus di Australia, dua per tiga anggota dewan direktur harus orang Australia, dan beberapa pembatasan lain (The Guardian, 3 Maret 2014).
Pada saat maskapai Australia tengah berbenah dan berusaha melakukan efisiensi untuk bertahan, Garuda Indonesia mencatatkan kinerja yang baik. Seperti halnya Qantas, Garuda Indonesia juga merupakan maskapai yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara. Namun meskipun memiliki hak monopoli atas penerbangan dengan pesawat jet di Indonesia, sebelum tahun 2005 kinerja maskapai berkepala garuda biru tersebut sering merah. Garuda pada saat itu lebih banyak mencatatakan kerugian daripada keuntungan. Penumpang di berbagai destinasi juga menyatakan ketidakpuasan mereka atas pelayananan dan keamanan Garuda Indonesia.
Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Emirsyah Satar, CEO Garuda Indonesia, yang memberikan presentasi tentang program transformasi Garuda Indonesia di Sydney atas undangan School of Aviation, UNSW. Dalam forum ini, CEO maskapai nasional Indonesia tersebut memaparkan strategi dan proses mengubah maskapai berkinerja buruk menjadi maskapai penerbangan dengan berbagai award. Penghargaan terakhir yang diterima adalah Best World Economy Class dari Skytrax. Dan secara keseluruhan, Garuda Indonesia merupakan maskapai terbaik kedelapan di dunia setelah Emirates, Qatar Airways, Singapore Airlines, ANA, Qathay Pacific, dan Ettihad. Selama ini dalam benak saya dan mungkin banyak orang Indonesia, tidak mungkin Garuda Indonesia akan sejajar dengan maskapai sekaliber Singapore Airlines. Namun dengan strategi jitu, kerja keras yang konsisten, dan dukungan pemerintah yang tidak terlalu mengekang Garuda Indonesia, pencapaian itu ternyata bukan mustahil. Pencapaian yang luar biasa mengingat kinerja Garuda sebelum 2005 yang selalu merah serta kinerja maskapai lain seperti Malaysia Airlines dan Qantas yang terus menurun.
Dengan gamblang dan runut, Emir menceritakan strategi yang dilakukan dalam melakukan transformasi hingga membawa Garuda Indonesia menjadi maskapai dengan Best Economy Class award. Sebuah program transformasi yang tidak mudah namun karena dilakukan dengan konsisten membawa perubahan yang signifikan. Tak heran jika audiens memberikan tepuk tangan panjang kepada Emir pada saat mengakhiri presentasi.
Garuda Indonesia layak berbanggga dengan pencapaian itu. Dan sebagai orang Indonesia, saya bangga Indonesia memiliki Garuda sebagaimana Emir menyebutkan bangga menjadi orang Indonesia dan membawa citarasa Indonesia kepada dunia. Apalagi mengingat minat orang Australia pada studi tentang Indonesia yang terus menurun saat ini, kebanggaan yang dibawa Garuda Indonesia mungkin akan dapat memperbaiki kondisi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H