Idul fitri menjelang, saatnya masyarakat Indonesia merayakan hari raya bersama keluarga di kampung halaman. Perjalanan jutaan orang untuk bertemu keluarga ini akan menciptakan gelombang migrasi kolosal temporer yang penuh hiruk pikuk dalam arus mudik dan arus balik.Â
Perjalanan mudik massal tersebut tidak hanya sarat akan nilai sosial tetapi juga nilai ekonomi yang digambarkan oleh aliran likuiditas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jabodetabek dan Surabaya ke Jawa Tengah dan DIY serta berbagai provinsi di Sumatera. Â
Dari sisi mobilitas kendaraan dan orang, Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik tahun ini mencapai 19 juta orang atau naik sekitar 4,9% dibanding tahun lalu. Dari jumlah tersebut, pengguna pesawat udara diperkirakan mencapai 5,4 juta orang, kereta api 4,4 juta, bus 4,3 juta, angkutan penyeberangan 4 juta, dan kapal laut 1 juta orang. Jumlah ini belum termasuk pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun motor di sepanjang jalur mudik di Jawa dan lintas Sumatera yang diperkirakan berjumlah 9,6 juta.
Yang menjadi permasalahan adalah tingginya konsentrasi pemudik dari kota-kota besar di Jawa sehingga dapat dibayangkan bagaimana riuhnya mudik ini yang seringkali kewalahan ditangani oleh infrastruktur fisik dan nonfisik negeri ini. Kemacetan di Brexit tahun lalu menggambarkan bagaimana animo mudik tidak dapat diimbangi oleh sumbatan jalan yang penyelesaiannya mendorong kenaikan jumlah pengguna. Â Â
Bagaimanapun riuh, sibuk, dan melelahkannya kegiatan mudik, segala upaya memperlancar mudik memang pantas dicurahkan. Dari aspek ekonomi, perayaan Idul Fitri mendorong konsumsi masyarakat yang terjadi hampir merata di semua wilayah terutama di Indonesia terutama di daerah dengan penduduk muslim besar. Kenaikan konsumsi yang bersifat musiman akan mendorong kenaikan produksi di sektor industri dan perdagangan yang biasanya terpusat di kota-kota besar. Hasil aktivitas ekonomi tersebut sebagian akan mengalir ke kampung halaman melalui mudik.
Perbaikan terjadi pada tahun 2016 terlihat dari kenaikan jumlah uang kartal di masyarakat sebesar 11% menjelang lebaran seiring dengan tingkat konsumsi masyarakat yang tumbuh 5,05%. Jika melihat pertumbuhan konsumsi pada triwulan I-2017 sebesar 4,94% atau relatif sama dengan pertumbuhan konsumsi triwulan I-2016 sebesar 5,03% maka diperkirakan jumlah uang kartal di masyarakat menjelang hari raya pada tahun ini akan naik sekitar 10% di atas rata-rata bulanan atau setara dengan tambahan sekitar Rp 80 triliun secara nasional.Â
Dari perbankan uang kartal ini akan ditarik oleh pelaku usaha untuk membiayai modal kerja termasuk biaya pegawai seperti tunjangan hari raya (THR) yang  akan turut mendorong konsumsi masyarakat. Jika dilihat per wilayah, lonjakan penarikan uang kartal oleh perbankan dari Bank Indonesia terutama terjadi Pulau Jawa di hampir semua provinsi sebulan menjelang hari raya.Â
Selanjutnya, aktivitas mudik yang dilakukan para perantau akan mengalirkan sebagian uang kartal yang beredar di kota-kota besar ke kampung halaman asal para perantau terutama di sentra pemudik seperti Jawa Tengah dan DIY serta beberapa provinsi di Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Riau, dan Lampung.
Memang tidak ada statistik yang mencatat besarnya aliran uang yang dibawa pemudik ke kampung halaman. Namun besarnya aliran uang pemudik dapat diestimasi dengan menggunakan data setoran perbankan ke Bank Indonesia pasca perayaan Idhul Fitri. Asumsinya pemudik akan membawa uang tunai dari kota asal atau menarik sejumlah uang di kampung halaman untuk dibelanjakan. Uang yang dibawa atau ditarik tersebut akan berputar di ekonomi lokal sebelum akhirnya masuk kembali ke sistem perbankan pasca lebaran. Oleh perbankan, kelebihan likuiditas dari masyarakat ini akan disetorkan ke Bank Indonesia.