"Kapan pulang lebaran"? Demikian isi sms dari seorang teman di masa kecil. Pesan singkat ini mengingatkan saya akan kampung halaman terutama saat Ramadhan. Pengirim pesan tersebut adalah salah seorang teman yang sering bersama untuk bermain selain beberapa teman yang lain. Saya teringat kembali bagaimana kami mengisi hari-hari di bulan Ramadhan dengan tawa dan canda yang kadang-kadang kelewatan.
Seperti anak kecil lainnya di kampung, kami selalu beramai-ramai pergi ke masjid untuk shalat tarawih dan shalat subuh berjamaah. Saat yang paling kami sukai adalah shalat subuh berjamaah di hari Minggu karena kami bisa bermain-main setelahnya. Sayangnya karena terlalu gembira, kami bahkan menganggap saat shalat berjamaah juga saatnya bercanda. Seperti kejadian shubuh itu dan beberapa subuh lainnya.
Kampung kami terletak di daerah pegunungan dengan hawa sejuk di siang hari dan dingin di malam dan subuh hari. Karena udara terlalu dingin, kami seringkali shalat subuh sambil berhimpit-himpitan. Seorang teman sengaja menginjak kaki teman yang lain. Acara injak kakipun diselingi dengan tawa tertahan beberapa teman. Puncaknya ketika salah seorang teman memelorotkan celana teman lainnya sampai, maaf, terlihat telanjang di bagian bawah. Tawa yang tadinya tertahanpun pecah berderai. Bagi kami, hal itu sungguh mengundang tawa, namun bagi para jamaah yang sedang khusyuk shalat, itu jelas-jelas menganggu dan tidak bisa ditolerir. Hasilnya, usai shalat kami disuruh berdiri berjejer di serambi masjid dan dihadiahi sentilan satu per satu oleh seorang pengurus masjid.
Kami hanya bisa terdiam dan memasang wajah menyesal. Namun di sudut hati polos kami, masih tersimpan kegelian yang menggelitik, entah apa sebabnya. Saat pengurus masjid masuk untuk mengikuti ceramah pagi, tawa kamipun pecah kembali. Dan untuk menghindari sentilan yang lain, kamipun bergegas pulang. Tentu saja tidak langsung ke rumah.
Kami berlarian ke rumah seorang teman yang halamannya dipenuhi rumput Jepang. Di pagi yang dingin dan masih sedikit gelap itu, kami sepakat untuk bermain seluncuran dengan menggunakan pelepah pohon pinang yang sudah kering. Salah satu bagian pelepahnya halus dan licin bila beradu dengan rumput Jepang, dan yang menyenangkan muat untuk diduduki anak-anak delapan tahunan seperti kami waktu itu.Â
Permainan ini butuh dua orang, satu duduk di atas pelepah dan yang lain menarik ujungnya hingga meluncur. Akan menyenangkan jika melalui permukaan tanah yang menurun. Tawa canda tak henti-hentinya menyelimuti kami. Dan permainan baru akan usai saat ada yang bertabrakan hingga salah satu menangis atau ada yang diseret orang tuanya pulang untk dimandikan.
Malam ini, kenangan Ramadhan di kampung halaman itu mengingatkan saya tentang hangatnya masjid. Sepuluh menit kemudian, saya telah bergegas menuju masjid dekat rumah. Tentu saja bukan untuk bercanda tawa dengan teman, tapi untuk merasakan hangatnya beribadah di bulan Ramadhan.
Telkomsel Ramadhanku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H