Jam menunjukkan pukul 18.21 waktu setempat. Matahari masih bersinar cerah namun udara dingin terasa menembus jaket berlapis kaos yang kami kenakan. Perjalanan yang cukup melelahkan sepanjang siang ini membuat perut tak mampu berkompromi lagi. Akhirnya, dari St. Lumbertus Basilika, kami menuju Burgplatz untuk mencari tempat makan. Di sepanjang jalan yang terlihat adalah cafe-cafe dan bar yang rata-rata menyajikan beverages khususnya altbier sebagai menu utama dan aneka roti. Sayangnya yang kami cari saat itu adalah makanan yang mengenyangkan dan sesuai kantong budget traveller.
Berdasarkan ulasan beberapa situs perjalanan, standar makan hemat di Eropa termasuk Dusseldorf, Jerman ini, adalah di bawah 8 Euro sekali makan atau dengan kurs 1 Euro = Rp 12.000 berarti Rp 96 ribu. Untuk gampangnya patokannya adalah Rp 100 ribu. Standar yang mahal menurut ukuran kami. Tapi bagaimanapun ini Eropa bukan Indonesia.
Sebenarnya pilihan yang aman dengan harga standar ya gerai-gerai makanan cepat saji. Tapi kadang terpikir masak jalan-jalan ke benua biru makannya cepat saji juga? Ini adalah dilema yang sering kami perdebatkan. Mau makan dengan harga murah tapi ga ada pengalaman citarasa lokal atau sebaliknya. Keputusannya adalah kalau mengenyangkan dan memang menggiurkan, patokan budget boleh dilanggar sekali-kali. Kapan lagi coba travelling ke Dusseldorf.
[caption id="attachment_192973" align="aligncenter" width="657" caption="Block House"][/caption]
Kami pun melewati deretan bar dan cafe-cafe yang ada. Entah kenapa kami bahkan tidak teralu berminat untuk melihat menu yang ditawarkan. Sepertinya deretan cafe dan bar itu memang lebih menjual suasana kumpul-kumpul dibandingkan makanan pengenyang yang sedang kami cari. Di seberang lapangan di Kurze Strabe, kami melihat tempat makan dengan tenda merah menyala yang penuh dengan pengunjung. Dengan berpatokan pada hukum keseimbangan kuliner bahwa tempat yang penuh pengunjung = makanan enak, kamipun bergegas menyeberang jalan untuk mencapainya. Saking tergesa-gesa, saya tidak sadar sudah memasuki bahu jalan tempat lalu lalang mobil dan baru sadar saat diteriaki oleh polisi yang sedang patroli.
Dari sebelah kiri, 2 orang polisi sedang menuju ke arah kami. Bukannya mengendarai mobil atau sepeda motor patroli, mereka menunggang kuda yang cukup membuat kami terpana. Kuda-kuda itu benar-benar gagah, besar dan tinggi. Saat lewat, kami sadar kalau kuda-kuda itu bahkan lebih tinggi dari kami meskipun kemungkinannya ada 2, kami yang terlalu pendek atau kudanya memang tinggi :).
[caption id="attachment_192964" align="aligncenter" width="657" caption="Patroli polisi berkuda"]
Sampai di tempat makan bertenda merah yang ternyata bernama Block House, kami periksa dulu menu yang ada. Bukan menunya tapi daftar harganya :). Menunya ternyata tidak terlalu mahal sekitar 3-4 Euro. Tapi ternyata kami harus kecewa karena itu harga untuk berbagai jenis sup dan makanan tambahan seperti kentang panggang atau kentang goreng. Menu utamanya tertera di tengah yaitu berbagai jenis steak yang dari gambarnya terlihat sangat menggoda. Cuman kisaran harganya membuat keder, 16 - 28 Euro atau antara Rp192rb -Rp336 ribu. Yah batal deh makan steak racikan para bule.
Tapi di sebelah kanan, kami melihat ada menu dengan klasifikasi American Bistro dengan paket termurah 9,9 Euro atau lebih mahal 1,9 Euro dari ukuran budget traveller. Tapi dengan pertimbangan pasti kenyang, gambar steak yang menggiurkan, dan ramainya pengunjung, kami putuskan untuk mencoba. Meskipun bukan penggemar steak (karena harganya mahal), sepertinya harga steak di Indonesia bisa lebih mahal dari itu. Konon harga steak yang bener-bener steak adalah di atas Rp 300 rb. Wah berarti pantas banget ni pikir kami.
Kami pun mengambil tempat duduk di tenda. Ternyata tempat makan ini memiliki ruangan di dalam yang juga penuh sesak dengan pengunjung. Karena tidak tahan dengan udara dingin, kami minta pindah ke dalam. Waiternya membolehkan dengan catatan harus benar-benar makan. Yah dikiranya kami mo numpang pipis doang kali ya. Hahahaha.
Setelah 20 menit menunggu pesanan kami dateng : 1 paket American Bistro, Norwegian Fjord Salmon, dan kentang goreng ditemani 3 botol sparkling water yang membuat kami bertanya-tanya. Bukan tentang makanannya tapi tentang mengapa orang bule sangat suka minuman bersoda. Bahkan air putihpun dikasih soda. Ampun dah.