Satu hal yang cukup merepotkan saya dalam berbagai perjalanan adalah tidak dapat menahan untuk buang air kecil lama-lama. Apalagi kalau banyak minum atau suhu udara dingin. Kombinasi keduanya? Mematikan.
Dan kebiasaan yang cukup merepotkan ini menghantui perjalanan saya beberapa waktu yang lalu. Di musim semi, suhu di Eropa ternyata masih cukup dingin hingga saya harus berurusan dengan berbagai macam toilet. Meskipun untuk mencegahnya saya sudah berusaha mengurangi minum, tapi tetap saja kebiasaan itu tidak dapat dihindari. Akibatnya malah dehidrasi, kulit kering, bibir pecah-pecah. Yang parah adalah negara-negara bule ini tidak cukup baik hati untuk menggratiskan layanan toilet umum atau setidaknya memasang tarif murah.
Saya sadar di Indonesiapun kita harus bayar untuk ke toilet. Tapi harganya wajar kan? Sekali ke toilet cukup membayar Rp 1.000 - Rp 2.000,-. Di berbagai tempat perbelanjaan tentu saja toilet gratis, kecuali mungkin di fasilitas umum tertentu seperti stasiun atau terminal.
Hal ini juga berlaku di benua biru. Di bandara toilet gratis, di department store atau mall toilet juga gratis. Begitu juga di areal publik seperti taman kota. Tapi tidak di stasiun atau di berberapa spot wisata yang dikelola swasta.
Saking seringnya ke toilet, saya sampai memperhatikan tarif toilet yang beragam di berbagai tempat. Tarif di satu tempat terasa sangat kejam sementara di tempat lainnya cukup murah hati. Tarif toilet di stasiun pusat kota Dusseldorf, Jerman, adalah tarif termahal selama perjalanan saya yaitu 1,5 Euro. Kalau dikurskan ke rupiah berarti sekitar Rp 18.000 dengan kurs 1 Euro = Rp 12.000. Enam kali lipat tarif toilet di Indonesia. Mahal, terutama bagi budget traveller seperti saya! Saya akui memang toiletnya bersih dan nyaman, bahkan ada penjaganya. Ini sangat jarang ditemui di Eropa.
[caption id="attachment_186903" align="aligncenter" width="584" caption="Seharga 0,5 Euro di Statiun Centraal, Amsterdam"][/caption]
Di Amsterdam tepatnya di Stasiun Centraal, tarif toilet lebih terjangkau, sebesar 0,5 Euro atau setara dengan Rp6.000,- kalau dirupiahkan. Lebih murah dibandingkan dengan tarif toilet di Hauptbahnhoft Dusseldorf. Sistemnya sama, menggunakan mesin otomatis, ruangan bersih tetapi tidak ada penjaga. Kalau harga segini bisa dimaklumi. Meskipun lebih mahal dari Indonesia tapi bedanya hanya 3 kali saja.
Di kota tua Brugge, Belgia, saya sempat 2 kali menggunakan toilet berbayar. Pertama di jantung kota tua dan yang kedua di stasiun. Tarif toilet di jantung kota abad pertengahan ini lebih murah dibandingkan tarif serupa di Stasiun Centraal, Amsterdam, cuma 0,2 Euro alias setara dengan Rp2.400,-. Kalau ini sih sama dengan tarif di Indonesia.
[caption id="attachment_186904" align="aligncenter" width="467" caption="Tarif di Kota Brugge sama dengan di Indonesia, 0,2 Euro"]
Masih di Brugge, saya terpaksa harus membayar 1 Euro untuk melakukan ritual buang air kecil di Stasiun Kota. Anehnya toilet ini dijalankan seperti di Indonesia. Jadi ada meja di gang pintu masuk. Seorang ibu tua duduk di meja tersebut dan mengarahkan orang yang bingung karena pintu masuk toilet laki-laki dan perempuan sama. Tapi anehnya, saat akan bertolak dari Brugge, pagi-pagi sekali, toilet berbayar itu belum buka dan sebagai gantinya saya baru sadar ada toilet umum di sebelahnya yang tidak harus bayar. Petugasnya belum datang atau memang seharusnya tidak bayar. Entahlah terlalu pagi untuk mempertanyakan itu.
Dari pengalaman itu saja, tarif toilet di beberapa tempatsudah sangat bervariasi dari 1,5 Euro, 1 Euro, 0,5 Euro, dan 0,2 Euro. Wajar saja sebenarnya, karena sudah beda negara. Meskipun sama-sama pakai Euro ternyata tingkat kemahalannya berbeda-beda. Setidaknya orang bule kalau ke Indonesia akan menghadapi tarif yang sama Rp2.000 dalam satuan rupiah yang sama.