Mohon tunggu...
Sulistiyo Kadam
Sulistiyo Kadam Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati ekonomi, interaksi manusia, dan kebijakan publik

Kumpulan Kata dan Rasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pilih Rupiah atau Dollar

17 Februari 2015   20:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:01 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana saya tulis dalam artikel sebelumnya, Kalau Inflasi Tinggi Jangan Harap Rupiah Menguat, jika inflasi di suatu negara naik lebih tinggi dibanding inflasi di negara lain maka menurut teori paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP), nilai tukar mata uang negara tersebut akan melemah. Maka, dengan mencermati inflasi di Indonesia yang selalu lebih tinggi dibanding inflasi di Amerika Serikat (AS), kita bisa perkirakan nilai tukar rupiah akan terus melemah. Akibatnya, aset kekayaan dalam rupiah seperti tabungan, properti, dan aset lain, nilainya akan berkurang jika dikonversi ke mata uang dollar AS.

Sebagai gambaran, seorang investor memiliki aset sebesar Rp100 juta pada awal tahun. Jika kurs pada awal tahun adalah Rp10.000 untuk setiap 1 USD maka nilai aset tersebut setara dengan USD10.000. Apabila inflasi di Indonesia pada tahun tersebut adalah 8% sementara inflasi di AS adalah 2%, maka perbedaan inflasi kedua negara adalah 6%. Sesuai teori PPP yang disederhanakan, nilai tukar rupiah akan melemah menjadi Rp10.600 per USD pada akhir tahun. Dengan nilai tukar yang baru tersebut, aset investor dalam mata uang dollar AS akan menjadi USD9.434 atau turun sekitar USD566. Artinya, investor rugi kalau menyimpan aset dalam mata uang rupiah.

Pertanyaan selanjutnya adalah jika kita tahu bahwa inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding inflasi di AS, apakah menabung dalam dollar AS akan lebih menguntungkan? Jawabannya belum tentu.

Selain teori PPP, ada teori lain yang menjelaskan hubungan nilai tukar dan inflasi yaitu teori International Fischer Effect (IFE). Kalau teori PPP menekankan  bahwa nilai tukar akan berubah seiring dengan daya beli mata uang suatu negara yang dipengaruhi oleh inflasi, teori IFE menekankan pada hubungan suku bunga dan nilai tukar. Menurut teori ini, nilai tukar mata uang suatu negara akan dipengaruhi oleh perbedaan suku bunga di kedua negara tersebut. Nilai tukar mata uang suatu negara dengan suku bunga lebih tinggi akan melemah terhadap mata uang negara lain dengan suku bunga lebih rendah. Hal ini terjadi karena negara dengan suku bunga tinggi cenderung memiliki laju inflasi yang juga tinggi.

Untuk memahami teori ini dengan lebih mudah, kita bisa menggunakan contoh investor sebelumnya. Pada contoh di atas, karena inflasi di Indonesia 6% lebih tinggi dibanding inflasi di AS, maka nilai tukar rupiah pada akhir tahun akan melemah dari Rp10.000 menjadi Rp 10.600 per dollar AS. Akibat perubahan nilai tukar rupiah ini, investor tersebut akan rugi sebesar USD566 dalam setahun.

Investor tentu saja tidak mau asetnya turun USD566. Namun hal ini tidak serta merta membuat investor memindahkan tabungannya dari Indonesia ke luar negeri atau tetap di Indonesia namun berubah dari tabungan dalam rupiah menjadi tabungan dalam dollar AS. Apa yang akan membuat investor mempertahankan dananya dalam rupiah? Jawabannya adalah suku bunga. Ya investor akan tetap menyimpan uangnya dalam rupiah sepanjang suku bunga dalam rupiah lebih tinggi dibanding suku bunga dalam dollar AS. Harus berapa persen lebih tinggi? Jawabannya adalah sebesar selisih inflasi antara Indonesia dan AS yaitu 6%.

Penjabarannya adalah sebagai berikut, ketika investor memperkirakan bahwa inflasi Indonesia akan lebih tinggi 6% dibanding inflasi di AS mereka memiliki pilihan untuk memindahkan tabungan dari rupiah ke dollar AS baik tetap di Indonesia atau bisa ditempatkan di negara lain seperti AS. Pebankan di Indonesia tentu saja tidak ingin hal ini terjadi. Kalau tabungan turun berarti penyaluran kredit atau penempatan dalam aset lain akan turun yang menyebabkan laba bank turun. Untuk mempertahankan dana tersebut, perbankan akan menawarkan bunga tabungan dalam rupiah 6% lebih tinggi. Misalnya suku bunga dollar AS adalah 2% maka suku bunga dalam rupiah minimal sebesar 8%.

Dengan suku bunga sebesar 8%, jika pada awal tahun tabungan investor dalam rupiah adalah Rp 100 juta maka pada akhir tahun tabungan tersebut akan menjadi Rp108 juta. Sementarajika ditempatkan dalam dollar dengan bunga 2%, tabungan investor yang pada awal tahun sebesar USD10.000 akan menjadi USD10.200 pada akhir tahun. Dengan kurs rupiah pada akhir tahun sebagaimana contoh di atas sebesar Rp10.600 per USD maka tabungan investor dalam dollar AS akan setara dengan Rp108 juta. Artinya kekayaan investor dalam rupiah ataupun USD akan tetap sama. Sedikit perbedaan perhitungan terjadi karena rumus nilai tukar menggunakan teori PPP yang disederhanakan. Rumus PPP lengkap cek di sini.

Perbedaan inflasi serta suku bunga di Indonesia dan AS yang menjadi patokan investor untuk tetap menyimpan uang dalam rupiah atau dollar AS dikenal dengan istilah suku bunga riil. Suku bunga ini diperoleh dengan mengurangkan inflasi dari suku bunga yang dicantumkan bank. Misal suku bunga dalam rupiah adalah 10% sementara tingkat inflasi adalah 8% maka suku bunga riil adalah sebesar 10%-8% atau sama dengan 2%. Begitu juga jika suku bunga dalam dollar AS tercantum sebesar 4% sementara tingkat inflasi adalah 2% maka suku bunga riil dalam dollar AS adalah 4%-2% atau sama dengan 2%. Dengan asumsi faktor lain tetap, jika suku bunga riil di AS dan Indonesia sama, dalam contoh ini adalah 2%, maka menyimpan uang dalam rupiah ataupun dollar AS akan menghasilkan imbal hasil yang sama.

Teori IFE menjelaskan kenapa suku bunga di Indonesia lebih tinggi dibanding suku bunga di negara lain selain juga mengapa nilai tukar rupiah terus melemah. Menurut teori ini kalau inflasi suatu negara tinggi maka suku bunga di negara tersebut juga akan tinggi untuk mengkompensasi penurunan aset jika dinyatakan dalam mata uang negara lain. Jika suku bunga simpanan tinggi maka suku bunga kredit akan tinggi. Yang harus membayar suku bunga tinggi ini adalah masyarakat yang memerlukan kredit baik untuk konsumsi seperti membeli rumah dan lain-lain, ataupun untuk kegiatan produktif.

Jika suku bunga tinggi maka biaya produksi akan tinggi. Akibatnya harga produk Indonesia juga akan menjadi mahal meskipun terjadi pelemahan nilai tukar. Lebih lanjut bila tingkat suku bunga di negara lain lebih rendah karena inflasi mereka juga rendah, maka daya saing produk Indonesia akan melemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun