Mohon tunggu...
Ramanda Bima Prayuda
Ramanda Bima Prayuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang

Mulailah darimana kamu berada, gunakan apa yang kamu punya, dan lakukan apa yang kamu bisa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Harga Singkong di Lampung Terjun bebas

21 Januari 2025   08:30 Diperbarui: 21 Januari 2025   08:59 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Kunjungan Pansus DPRD Prov Lampung dengan Ketua DPRD Kab Lampung Utara ke salah satu perusahaan singkong. Sumber : Dokumentasi penulis

Ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten di Provinsi Lampung menggelar unjuk rasa di Kantor DPRD pada Senin (13/1/2025) pagi, menuntut perhatian serius atas penurunan harga singkong yang terus merosot hingga di bawah Rp1.000 per kilogram. Petani dari Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Mesuji, dan Way Kanan itu mendesak agar Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Lampung yang mengatur standar harga singkong segera direalisasikan. Aksi ini mencerminkan keresahan petani yang merasa semakin tertekan dengan harga yang terus menurun, sehingga berdampak langsung pada pendapatan mereka.

Di sisi lain, penurunan tajam harga singkong di Lampung belakangan ini tidak hanya menimbulkan keresahan di kalangan petani, namun juga membuka peluang baru bagi sektor lain untuk mengeksplorasi potensi yang belum dimanfaatkan. Meski harga yang anjlok menjadi masalah serius bagi petani, fenomena ini bisa dilihat sebagai sinyal adanya ketidakseimbangan pasar yang mendorong inovasi dan diversifikasi ekonomi. Penurunan harga singkong seharusnya menjadi dorongan untuk mengevaluasi ketergantungan pada satu komoditas dan mencari cara menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, baik di pasar lokal maupun global. Hal ini merupakan kesempatan untuk mengembangkan produk olahan singkong seperti tepung tapioka, keripik, dan makanan lainnya yang memiliki prospek pasar lebih luas, serta mendorong transformasi dalam pengolahan singkong ke arah yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Overproduksi dan Dampak Cuaca

Kepala Dinas Pertanian Provinsi Lampung, Bani Ispriyanto mengatakan “Anjloknya harga singkong disebabkan panen yang melimpah. Selain itu, kondisi saat ini yang memasuki musim penghujan juga dinilai mempengaruhi kualitas singkong yang dihasilkan petani.” Overproduksi terjadi ketika petani menanam singkong dalam jumlah besar tanpa memperhitungkan kebutuhan pasar, sehingga pasokan singkong berlimpah sementara permintaan tidak sebanding. Hal ini menyebabkan harga singkong terjun bebas karena pasokan yang melebihi permintaan. Petani pun merasa kesulitan menjual hasil panennya dengan harga yang menguntungkan. Di sisi lain, dampak cuaca ekstrem turut memperburuk situasi ini. Cuaca yang tidak menentu, seperti hujan deras yang berlebihan dapat merusak kualitas dan kuantitas hasil panen singkong. Kondisi cuaca yang buruk ini menyebabkan sebagian besar singkong yang dipanen memiliki kualitas rendah, sehingga lebih sulit untuk dipasarkan dengan harga yang wajar. Kombinasi antara overproduksi dan cuaca ekstrem ini menciptakan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, yang pada akhirnya menurunkan harga singkong secara signifikan. Para petani yang sudah tertekan dengan penurunan harga kini menghadapi ancaman pendapatan yang semakin menurun, yang semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan. Salah satunya yaitu dengan melakukan diversifikasi tanaman, sehingga petani tidak bergantung sepenuhnya pada komoditas singkong. Diversifikasi ini akan mengurangi ketergantungan pada satu jenis tanaman dan mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar atau cuaca ekstrem.

Petani Singkong Terkepung

Para petani singkong di Lampung saat ini berada dalam situasi yang semakin sulit, terperangkap dalam pusaran ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka. Harga singkong yang terjun bebas, kini hanya berada di bawah Rp1.000 per kilogram, membuat petani terpaksa berjuang keras untuk menutupi biaya produksi yang terus membengkak. Padahal, mereka harus menghabiskan banyak tenaga dan waktu di lahan yang luas, memelihara tanaman dengan penuh harapan, namun hasil yang mereka tuai tak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkan. Bahkan, sering kali mereka harus memilih antara menjual dengan harga murah atau membiarkan singkong mereka membusuk di ladang karena tidak ada pembeli yang mau membeli dengan harga wajar. Keadaan ini menambah beban berat bagi para petani yang seharusnya dapat menikmati hasil jerih payah mereka. Tanpa adanya dukungan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas harga atau program yang fokus pada peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian, para petani singkong terancam terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung. Tidak hanya berdampak pada kesejahteraan ekonomi mereka, namun juga berimbas pada kualitas hidup sosial mereka yang semakin terpuruk. Jika situasi ini terus dibiarkan, petani singkong Lampung yang selama ini menjadi tulang punggung dalam produksi pangan, akan semakin jauh dari harapan untuk keluar dari kesulitan.

Ramanda Bima Prayuda

Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun