Mohon tunggu...
Kim Amaya
Kim Amaya Mohon Tunggu... -

Mahasiswi paruh waktu, pemimpi & penikmat hidup penuh waktu, pembelajar sepanjang waktu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Lereng

25 Maret 2012   09:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:30 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332666647433312825

Jika ada hal yang sangat kurindukan saat ini, maka itu adalah lereng-lereng bukit landai yang ditanami jagung, kacang tanah dan terung. Di antara tanaman jagung yang sedang berbunga itulah aku belajar bernyanyi, menakar pupuk dan memilih cita-cita.

Pagi-pagi sekali, aku membantu Ina (1) menyirami kacang tanah dan terung. Meski bantuanku hanya berupa berjalan hati-hati di belakang Ina agar tak menginjak kecambah kacang tanah. Jika lelah mengikuti Ina, aku akan berlari ke deretan tanaman jagung yang sedang berbunga untuk mengusir burung. Dan saat Ina memetik terung ungu yang siap dijual ke pasar, aku akan menjaga pohon-pohon rapuh kacang tanah dari serbuan ayam-ayam kelaparan.

Aku merindukan gubuk beratap anyaman daun rumbia itu setiap saat. Saat larut dalam tugas-tugas kuliah, saat menyantap burger ayam, saat suara azan subuh meraung-raung dari speaker ponselku, dan saat ini. Aku benar-benar merindukan embun pohon pepaya yang kugunakan untuk mandi saat sungai di balik bukit itu keruh karena luapan lumpur dari gunung. Aku merindukan lagu O Tampo (2)yang dinyanyikan kawan-kawanku sambil mesinala (3). Tapi aku jauh lebih rindu pada perempuan yang mengajariku lagu O Tampo di suatu malam yang dingin saat hujan lebat menyambar pohon pepaya di samping gubuk. Dia perempuan yang tak pernah melarangku bernyanyi-nyanyi kecil di dapur. Semua anak perempuan di lereng dilarang keras bernyanyi atau bahkan bersiul samar di dapur. Menurut para orang tua di lereng, anak gadis yang bernyanyi-nyanyi sambil memasak akan sulit mendapat jodoh. Kalaupun seandainya menikah, mereka akan menikah dengan pria berumur atau malah mereka baru akan menikah saat telah berumur. Konsekuensi terburuk dari bernyanyi-nyanyi di dapur adalah menjadi perawan tua. Seumur hidup. Mengerikan. Menjadi perawan tua bagi gadis-gadis lereng jauh lebih menakutkan dari pohon beringin di dekat sungai belakang bukit—yang dulu kuyakini sebagai istana jin gunung. Tapi Ina tidak pernah mempercayai pemali (4) itu. Suatu kali Ina membelaku mati-matian saat Wa Ende—salah seorang family jauh kami—memarahiku karena menyanyikan lagu Desy Ratnasari sambil menggoreng ikan di tungku.

“Eiiiyyyy, parasili! (5)Begus betul adatmu itu, anakku. Menyanyi sambil memasak. Pondo-pondo (6)mu ini tidak akan didatangi bujang (7) muda.” Kulihat air muka ina berubah ketika itu. Dengan tenang Ina menyahut. Suaranya dalam. Aku tahu hatinya terluka.

Kalambeku (8) akan jadi perempuan kota. Bujang-bujang muda tidak akan datang ke sini. Tapi di rumahnya yang di kota. Dan bujang-bujang muda itu sudah pasti bukan bujang lereng.” Wa Ende bersungut-sungut dan pergi tanpa berpamitan pada Ina. Perawan berusia lima puluh tahun itu hanya berpamitan kepadaku dengan wajah cemas. Seolah Ina baru saja menantang kutukan leluhur suku Muna yang dipercayai turun-temurun. Apapun yang terjadi saat itu, aku selalu percaya, Wa Ende menyayangiku seperti ia menyayangi Ina.Saat itu, aku berpikir bahwa mungkin Wa Ende juga suka bernyanyi sambil memasak sehingga ia belum menikah sampai saat itu. Dan Ina sudah menolak teori itu mentah-mentah.

Pernah di suatu malam Ina menangis tanpa suara. Dan itu masih tentang keteguhannya memegang prinsip bahwa bernyanyi sambil memasak tidak akan merubah jodoh yang ditetapkan Tuhan. Kakek berang dengan pembelaan diri Ina.

Ama (9), saya hanya menikah dengan jodohku. Ama juga begitu. Sutra juga akan begitu nantinya.”

Kotughu nagha (10). Tapi setidaknya, kita menjaga diri dari kemungkinan. Bala (11)’ dari Tuhan itu tidak ada yang tahu. Apa susahnya berhenti menyanyi di dapur? Nanti saja di kamar atau di kebun sana baru kau lanjutkan lagi. Lihat dirimu. Kenapa ko (12) jadi janda di umur muda? Karena ko menikah dengan orang tua. Dulu kamu juga seperti Sutra. Suka menyanyi di dapur.” Ina terdiam sambil menatapku dengan tatapan terluka. Matanya basah. Kalimat kakek menciptakan hening di antara kami sampai subuh. Aku tidak menyangka jika persoalan menyanyi di dapur bisa sepenting ini untuk kakek. Sejak malam itu, aku tidak lagi menyanyi di dapur. Karena kakek terus mengawasiku setiap kali memasak atau mencuci piring di kolong pondo-pondo.

Di sini, di kaki bukit ini, Ina memelukku untuk yang terakhir kalinya. Wajahnya tampak tenang ketika itu, sedang matanya menceritakan rasa kehilangannya dengan jujur. Ah, Ina. Aku membawakan cerita-cerita tentang kota untukmu. Kota yang dulu sangat kau kagumi sehingga rela melepaskan aku untuk mengikuti keluarga sepi itu pindah ke kota. Setelah mengunci verossaku, kudaki bukit menuju gubuk ina, pondo-pondo kami. Di balik bukit inilah letak lerengku. Dan pondo-pondo kami ada di tengah kebun jagung. Aku ingat betul, Ina menanam jagungnya setiap bulan Februari dan Agustus. Dan empat puluh hari kemudian, jagung sudah berbunga lagi. Seperti September ini.

Ina pasti sudah selesai membersihkan rumput-rumput yang memagari anak-anak jagung. Letup-letup aneh semakin terasa semarak dari balik rongga dadaku saat aku melangkah hati-hati di antara anak jagung. Aku pernah berjalan seperti ini, dulu. Dulu sekali. Ribuan hari yang lalu. Jauh di ujung pandanganku, pondo-pondo kami sudah terlihat. Pondo-pondo sederhana itu tidak berubah. Tungku dari batu bata yang disusun berbentuk segitiga masih di sana. Di bawah kolong rumah panggung kecil tempatku mengeja huruf latin yang diajarkan Ina.

Ina sedang di dapur saat aku sudah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari. Ruangan yang kusebut dapur sebenarnya adalah ruang berdinding bambu berukuran 1 x 1 meter. Lantainya pun terbuat dari bambu yang baru kusadari  ternyata semakin rapuh. Saat aku tak sengaja menginjak ujung sebatang bambu yang merenggang dari barisannya, ujung bambu yang lainnya terangkat karena simpulnya terlepas hingga menimbulkan bunyi berderak—membuatku mengira lantai itu akan ambruk. Ina yang sedang mencuci bayam dan kacang panjang sontak menoleh. Mata kami saling bertemu. Kupikir Ina akan tersenyum haru penuh rasa rindu, lalu memelukku lagi seperti malam itu. Saat keluarga yang mengadopsiku berpamitan padanya. Aku salah. Ina tak bereaksi. Seolah-olah ia tak melihatku. Ia kembali asyik memisahkan sayur dari air bekas cucian sayur yang sejak tadi ditekuninya. Aku kecewa. Ina membawa baskom berisi sayuran menuruni tangga. Ina akan memasak sayurnya di tungku di bawah sana, tepat di bawah tempatku berdiri. Di kolong pondo-pondo itulah dulu aku menggoreng ikan sambil menyanyikan Kalambe Wuna (13) bersama Ina.

Ina menyajikan sayur bayam yang asapnya masih mengepul di ruang tengah yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu pondo-pondo. Aku menyalakan lampu teplok yang tergantung di salah satu tiang penyangga rumah. Lampu itu lebih tepat disebut lampu kaleng karena terbuat dari bekas kaleng susu cair. Sumbunya adalah sumbu kompor yang dibeli Ina seutas-seutas saat sumbu itu memendek. Sumbu itu dibalut kemasan aluminium pasta gigi yang dipilin. Seluruh penduduk lereng menggunakan lampu seperti ini. Dan kami, anak-anak yang lahir di bawah temaram lampu kaleng itu, tidak pernah mengeluhkan lubang hidung kami yang menghitam karena arang lampu kaleng. Sahabat-sahabatku yang memiliki selera humor tinggi bahkan menjadikan ini sebagai ajang adu jago. Barangsiapa yang membersihkan lubang hidungnya dan arangnya tak kunjung bersih meski telah dikeruk dengan ujung jari berulang kali, maka dia lah sang jagoan. Aku pernah memenangkan kompetisi itu sekali. Aku harus membersihkan lubang hidungku sebanyak dua puluh tujuh kali agar lubang hidungku benar-benar bersih dari arang yang bercampur kotoran hidung.

Ina?” panggilku, saat aku sudah duduk berhadap-hadapan dengannya. Ina menoleh. Aku menikmati aura keibuan dari wajahnya yang kerutannya mungkin sudah sebanyak ubannya.

“Sutra datang untuk mengajak Ina ke kota.” Kutangkap keterkejutan di mata tuanya yang sayu.

“Sutra dilamar Rio, ina.”

“Rio?” tanya Ina datar dan seadanya. Aku mengangguk. Ina mendesah sambil menatap hampa pada piring sayur di depan kami.

“Aku harus menjaga jagung,” ucapnya dengan nada sesal. Padahal aku berharap Ina akan bertanya lebih banyak lagi. Seperti, kapan Rio melamarmu? Bagaimana orangnya? Setampan apa dia? Sudah berapa kali kau bertemu orang tuanya? Kapan acara pernikahanmu? Seperti apa baju pengantinmu nanti?

Hhh… Ina

Ina…”

“Ehm?” Ina menjawab dengan sebuah gumaman.

Ina akan berdiri di dekatku saat di pelaminan nanti, kan?”

“Dan orang tuamu?” Ina menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang lain.

Ina kan orang tuaku.”

“Maksudku Pak Jaya dan istrinya,” sela Ina.

“Mereka akan berdiri di sisi Ina.” Ina terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras. Sepertinya tentang sesuatu yang berat untuk diceritakan.

Ina,” aku kembali berusaha menarik perhatian Ina. Tapi matanya enggan menatapku.

“Pernikahanku nanti digelar di atap gedung. Orang kota menyebutnya dengan pernikahan yang unik. Dan romantis.” Ina tampak tak berminat. “Dari sana, kita bisa melihat apa saja, Ina. Seisi kota. Apa saja. Lampu-lampu yang tidak padam sampai pagi, mobil-mobil mewah, kantor-kantor setinggi langit, ehm… masih banyak lagi. Pernikahanku akan dinaungi langit sebagai atapnya. Romantis kan, Ina?” Ina menatapku penuh curiga. Seolah ia sedang berusaha mempercayai kata-kata persuasif penjual panci aluminium keliling. Aku tahu, Ina selalu ingin melihat kota sebagaimana aku yang selalu ingin melihat senyum dinginnya. Senyum yang terakhir kali ia tunjukkan padaku saat mengantarku menuruni bukit, tempat kami berpisah ribuan hari yang lalu.

“Apa orang tuamu tidak keberatan kau datang ke sini?” aku terperanjat. Bagaimana mungkin Ina bisa berpikiran seperti itu? Sebanyak apapun uang yang dikeluarkan papa dan mama untuk membiayai hidupku selama ini, mereka tidak bisa membeli gelar Ina sebagai perempuan yang kuhisap air susunya bertahun-tahun.

“Tidak, Ina. Mereka sama sekali tidak keberatan. Bahkan kalau mereka melarang, aku tetap akan datang ke sini. Satu-satunya orang yang paling kutunggu di hari pernikahanku nanti adalah Ina.” Ina berbalik memunggungiku lalu menghilang di balik dinding rapuh yang menyekat ruang dimana aku duduk dengan dapur, tempat Ina meletakkan piring-piring aluminiumnya. Kudengar suara panci beradu dengan piring. Aku beranjak dari tempat dudukku dan terdengar suara Ina.

“Tidak usah ke sini. Aku masih bisa menyendok nasi dan ikan dengan kedua tanganku sendiri.” Ina pasti merasakan getaran lantai bambu tadi. Sehingga ia tahu bahwa aku ingin ke dapur untuk membantunya. Beberapa saat kemudian Ina datang dengan sepiring ikan rebus di tangan kirinya, sebakul nasi di tangan kanannya dan dua piring aluminium yang ia letakkan di pergelangan tangan kanannya. Ia terlihat ahli dalam hal itu. Seperti pelayan restauran berpengalaman.

Hatiku diserang rasa haru tak tertahankan saat mencicipi ikan pindang buatan Ina. Ina memasaknya dengan garam dan daun kedondong sebagai pengganti asam jawa. Aku masih ingat persis rasa ini. Rasanya khas. Tak akan kutemukan di mana pun di kotaku.

“Sutra kembali ke Jakarta besok, Ina.” Ina mengunyah makanannya perlahan sambil menyimak perkataanku tanpa ekspresi antusias.

“Kalau Ina belum bisa ikut besok, minggu depan Rio yang akan menjemput Ina ke sini. Ina bisa, kan?

“Minggu depan?” kalimat Ina menggantung. Aku ingin melihat anggukannya. Tapi lagi-lagi Ina hanya bisa mendesah.

“Wa Ende bisa membantu menjaga jagung untuk sementara, kan?” aku berusaha menawarkan solusi.

“Habiskan dulu makananmu. Kita bicarakan lagi nanti,” sahut Ina.

Ini kali keduanya aku berjalan menuruni bukit bersama Ina. Tapi kali ini Ina tidak memelukku lagi seperti dulu.

“Sampaikan salamku untuk orang tuamu,” ucapnya. Seolah-olah tak ada ikatan istimewa di antara kami.

Ina,” panggilku sambil menatapnya dalam-dalam. Kulihat keraguan di matanya. Entah keraguan untuk apa. Keraguan untuk melepasku lagi, keraguan terhadap lelaki pilihanku, ataukah keraguan meninggalkan ladang jagungnya.

“Orang pertama yang tangannya akan dicium Rio di hari pernikahan kami adalah tangan Ina,” ucapku penuh harap agar ia berubah pikiran. Pandangan Ina beralih ke tangannya sendiri. Kuraih tangan itu lalu kucium jemarinya, lama.

Ina, apa aku tidak penting lagi untukmu? Apa karena yang menanggung isi perutku selama bertahun-tahun adalah papa dan mama? Bukan Ina?

“Berapa umurmu sekarang?” tanya Ina tiba-tiba.

“Hampir dua puluh lima,” jawabku.

“Rio?”

“Dua puluh delapan.”

“Apa dia seorang duda?” aku menggeleng. Tanpa keinginan untuk bertanya. Aku tahu mengapa Ina menanyakan itu. Ina sedang memastikan apa aku terkena pemali.

“Pulanglah,” ucapnya. Ada nada kehilangan dalam suaranya yang parau. Tapi tak ada beban di wajahnya saat aku melepaskan tangannya. Ia menatapku seolah-olah aku hanya akan berangkat ke sekolah dan pulang saat matahari tepat berada di atas kepala nanti, seperti belasan tahun yang lalu.

Sutra, jika kau tinggal di kota, jika kau bersekolah setinggi-tingginya, kau akan menikah dengan orang pintar. Bukan bujang bodoh tak tamat SD yang kerjanya mencangkul setiap hari. Dan kau akan membuktikan pada orang lereng bahwa melanggar pemali tidak akan mendatangkan musibah jika kau sudah merubah nasibmu dengan belajar keras. Anak perempuan yang pintar akan menikah dengan bujang yang tidak sembarangan. Jadilah orang pintar, nak. Kelak datanglah ke sini dan bawakan cerita-cerita tentang kota untuk Ina.

Aku masih menyimpan baik-baik pesan Ina dalam memoriku. Sudah kutunaikan janjiku, Ina. Tapi mengapa kau tak memberiku kesempatan untuk bercerita tentang kehidupan kota yang kusaksikan setiap hari? Bukankah kau sangat ingin mendengarnya? Tak ada yang berubah di antara kita, kan?

Aku sudah meninggalkan Ina jauh. Lewat kaca spion aku masih bisa melihat perempuan penentang pemali itu memandangi punggung mobilku. Lalu sensasi aneh tak terperi mengaduk-aduk ulu hatiku saat perempuan lereng itu berbalik. Tiba-tiba aku merasakan kehilangan. Kehilangan yang dalam.

[Di antara ladang jagung, di tengah lereng yang menyimpan seribu satu cerita

Kendari, September 2010]

Perempuan Lereng adalah pemenang harapan dalam LMCR Rohto 2011

1 Ibu

2 Oh kampungku : lagu daerah Muna

3 Membersihkan rumput dengan sejenis parang namun dengan ujung yang tumpul yang disebut kasInala

Hal-hal yang ditabukan

5 Kata seruan untuk menyatakan kekesalan/kemarahan

6 Rumah panggung sederhana, terbuat dari balok dan papan dan biasanya berlantai bambu

7 Perjaka

8 Anak gadisku

9 Ayah

10 Itu memang benar

11 Musibah;bencana

12 Kau

13 Gadis Muna: lagu daerah Muna

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun