(Renungan Anak Seorang Guru Masa Lalu Pasca HGN 2021)
Menulis tema ini, akan sedikit menguras emosi saya. Mengapa? Karena dengan menulis tema ini, auto refleks ingatan saya akan melanglang jauh mengurai waktu di masa lalu dan mengingat sosok yang sangat menginspirasi saya yang kini telah tiada. Yeaah, betul sekali. Beliau adalah ayah saya almarhum, yang sudah meninggalkan kami sebelum kami anak- anaknya sempat membalas semua kebaikannya secara sempurna. Sebelum kami sempat mengganti setiap tetesan darah dan keringat yang beliau curahkan untuk kami. Tepatnya pada tanggal 29 September tahun 2012, beliau "sang inspirator" menghembuskan nafas terakhir dalam dekapan kami bertiga, para anak- anaknya.Â
Kenapa beliau sangat menginspirasi kami anaknya tentang sosok seorang guru? Karena sikap dan ucapan beliau tentang profesi guru, membuat kami menyadari betul, betapa mulia dan berartinya profesi seorang guru. Hingga kami bertiga pun memutuskan untuk menjadi seorang guru, meskipun saat itu pilihan guru merupakan sebuah konsekwensi yang sulit, kami harus mengorbankan banyak waktu untuk berada di sekolah dengan honor yang sangat memprihatinkan.Â
Guru, yang sosoknya kemarin tangggal 25 Nopember baru saja kita elu- elukan dengan gegap gempitanya peringatan HGN. Peringatan yang meriah dan penuh apresiasi baik di tingkat nasional, di tingkat prvinsi, tingkat kabupaten dan kecamatan, maupun di tingkat sekolah bahkan keluarga. Semua wall medsos penuh dengan postingan peringatan HGN dari berbagai komunitas dan tingkatan, yang semuanya sangat mengapresiasi sosok seorang guru. Sebenarnya apa bagaimana sih mulianya seorang guru sehingga soosknya begitu dielukan dan diapresiasi oleh banyak pihak sekarang? Apakah dulu sosok guur juga dielukan serta dibanggakan seperti sekarang? Dan apakah para guru menyadari tentang mulianya profesi yang disandangnya sehingga menjadi sosok yang patut dielukan serta dibanggakan??
1. Guru itu sosok yang digugu dan ditiru
Falsafah Jawa mengatakan bahwa guru itu kepanjangannya adalah "digugu dan ditiru". Artinya seorang guru adalah sosok yang didengarkan segala ucapannya dan ditiru semua tingkah lakunya. Ini tidak hanya berlaku di sekolah, namun juga di masyarakat sekitar. Falsafah ini begitu melekat pada sosok ayah kami. Seorang guru SD yang sangat sederhana dan loyal terhadap profesinya. Karena itu ayah kami senantiasa berupaya untuk menjadi panutan bagi siswa dan orang disekitarnya. Dalam hal tutur kata, performance serta perilakunya.Â
Ayah merupakan orang yang sangat sopan terhadap siapa saja, bahkan bisa dikatakan orang yang sungkanan kalau istilah orang Jawa. Mungkin ayah adalah sosok orang yang tidak bisa berkata kasar dan menyakiti orang lain. Soal penampilan, ayah merupakan orang yang sangat rapi. Selama di rumah maupun keluar rumah kami belum pernah melihat ayah tidak memasukkan bajunya. Kemana- manapun selalu membawa sisir, sewaktu- waktu akan menyisir rambutnya supaya rapi. Setiap berangkat sekolahpun ayah selalu memberikan minyak pada rambutnya sehingga rapi. Masih ingat kan dulu ada yang namanya minyak orang- aring? Minyak itulah yang digunakan oleh ayah untuk meminyaki rambutnya supaya rapi.Â
Dalam hal keteladanan perilaku, ayah kami adalah orang yang sangat patut diteladani. Pagi- pagi sekali sebelum jam 6.00 ayah sudah berada di sekolah, meskipun bel pelajaran pertama adalah jam 07.00. Ayah kami adalah orang yang pertama kali datang ke sekolah. Dalam kondisi apapun, ayah selalu datang ke sekolah paling pagi, meskipun dengan berbagai cara untuk bisa sampai di sekolah. Kenapa harus dengan berbagai cara? Ya, karena kami saat itu miskin sekali, tinggal di perumahan SD dan tidak punya kendaraan meski hanya sepeda. Biasanya jika tidak ada sepeda, ayah berangkat lebih pagi dengan berjalan kaki supaya bisa sampai ke sekolah sebelum jam 6.00 pagi. Ibu kamipun harus ikut berjuang, pagi- pagi sudah masak seadanya agar ayah bisa sekedar mengganjal perutnya sebelum berangkat mengajar. Bahkan tak jarang ayah kami berangkat dengan perut kosong karena ibu belum masak pagi itu. Sering sekali ibu tidak bisa menyediakan sarapan untuk ayah kami karena sedang tidak punya uang untuk belanja makanan, akhirnya ayah berangkat mengajar hanya dengan minum air putih seadanya. Namun hal itu tidak mengurangi semangat ayah untuk bekerja. Dengan langkah yang tegap dan penuh semangat ayah berjalan kaki ke sekolah yang berjarak kurang lebih 2 kilometer. Saat itu, kami tinggal di perumahan SD yang berbeda dengan tempat ayah mengajar. (Sampai bagian ini saya tidak bisa mengendalikan derasnya air mata saya mengenang beliau. Lahul Fatihah).
Dalam perilaku kedisiplinan, ayah benar- benar bisa jadi panutan. Ayah selalu berangkat sebelum siswa datang dan pulang setelah siswa dan guru lain sudah meninggalkan sekolah. Kata beliau, guru itu tanggung jawabnya besar pada siswa. Guru harus datang lebih awal dari siswa untuk memastikan bahwa mereka sampai di sekolah dengan selamat dan dalam kondisi aman. Guru harus pulang setelah semua siswa sudah tidak ada di sekolah untuk memastikan bahwa mereka telah sampai di rumah dengan selamat dan aman. Yah, tanpa peduli berapa gaji yang diterimanya, beliau selalu disiplin dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Bahkan sering sekali ayah tidak pulang sampai malam untuk melanjutkan tugasnya, melatih siswa, mempersiapkan lomba, bahkan mengajar  penduduk sekitar yang buta huruf. Semua dilakukannya dengan ikhlas, tanpa bayaran sepeserpun.
Ayah menyadarkan kepada saya, betapa hebatnya seorang guru, sosok yang digugu dan ditiru. Hal itu juga saya benarkan ketika saya sudah memiliki anak usia sekolah. Dalam beberapa hal, anak lebih mendengar kata guru daripada orangtuanya. Saya menyadari betapa susahnya membiasakan anak sholat sejak dini. Ketika orangtua yang memerintah dan mengajaknya, ada berbagai alasan anak untuk menghindarinya. Namun ketika hal itu diperintahkan oleh guru di sekolahnya, tanpa disuruhpun anak melakukannya. Betapa saktinya petuah seorang guru bagi muridnya.
2. Pahala Guru akan Terus Mengalir Meskipun Sudah Meninggal Dunia