Mohon tunggu...
Difai Sdn
Difai Sdn Mohon Tunggu... Auditor - Time Traveller

Independent Party

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Samy Si Tikus

4 April 2017   14:10 Diperbarui: 4 April 2017   22:01 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah beberapa hari terakhir ini aku merasa lelah sekali. Kehadirannya membuatku harus melakukan kegiatan malam hari. Malam-malam yang biasa ku lalui dengan nyenyak tidur di kasur empuk. Kini harus memantau lubang itu hingga jauh malam. Lubang yang ukurannya kecil. Bentuknya bulat tapi dengan bulatan yang tidak sempurna. Terlihat pinggirannya terbuat dari gigitan-gigitan kasar.

Awalnya lubang itu terlihat kecil. Aku pun tidak terlalu menyadari. Lalu perlahan lubang itu membesar, membesar dan terus membesar. Hingga akhirnya pada suatu hari ketika aku sedang duduk memperhatikan lubang itu, munculah sebuah moncong berhidung merah, berbulu hitam dan memiliki kumis yang panjang. Hidung yang merah itu bergerak-gerak, mengendus-endus kesana kemari seolah sedang memantau keadaan. Moncong itu perlahan bergerak keluar dari lubang hingga akhirnya keluarlah secara utuh makhluk itu.

Makhluk itu kerap kali mengganggu kenyamananku. Mengganggu mimpi-mimpiku. Saat ia melewati lubang, seperti ada bunyi bergesek yang sangat mengganggu telingaku. Biasanya aku akan langsung terbangun dan meloncat dengan sigap kearah lubang. Jika setengah badannya masih didalam, biasanya ia akan langsung lenyap dari pandangan. Tapi bila badannya telah separuh berada diluar, maka laksana peluru keluar dari senapan, ia akan langsung melesat dengan kecepatan tinggi bergerak menjauhi lubang. Dan aku.....

Sejujurnya, inilah saat-saat yang paling menyenangkan dalam hidupku. Paling menegangkan. Paling menggairahkan. Saat-saat aku mengejar dia dengan gerakan yang sigap. Belokan tajam ke kiri,  gocekan setengah badan ke kanan. Berputar melewati kaki meja, bergerak di lorong lemari, meloncat dari undakan tangga. Dengan gerakan anggun laksana balerina, aku  pun mengikuti gerakannya. Ia bergerak ke kiri, akupun berlari ke kiri. Ia mencoba ke kanan, akupun sigap mengikutinya.  

Sudah hampir dua putaran, belum juga terkejar. Nafas ku pun mulai tersengal. Awas ya kalau sampai tertangkap. Akan ku habisi dia. Akan ku lumat hingga tak berbekas. Harus ku akui memang dia sungguh sangat lincah. Terkadang saat pengejaran, tanganku hampir menyentuh badannya. Tapi dia selalu punya cara untuk berkelit dan meloloskan diri. Kembali kedalam lubang, itulah kesukaannya. Dan aku tahu, sangat sangat tahu betapa dia akan mengeluarkan sedikit kepalanya sesaat setelah ia berhasil masuk kedalam lubangnya. Pandangan mata yang penuh ejekan, itulah yang paling ku benci. Lidahnya setengah menjulur tanda cibiran. Kesal tak terkirakan. Sebal tak terkatakan.

Dia itu ibarat teroris. Saat aku lengah, dia akan menjelajahi seisi rumah. Jejak kakinya mengotori lantai. Air liurnya menempel di dinding selasar. Tak jarang bulu-bulunya bertebaran di sepanjang undakan tangga. Yang sangat membuat aku kesal adalah saat ia meneror makanan. Sebal rasanya melihat makanan di meja menghilang dan hanya tersisa remah-remah. Roti coklat dari tante Wati atau kue pai keju buatan ibu habis dilahapnya. Tak jarang daging ayam yang belum sempat dihidangkan di meja pun dilalapnya.

Sampai aku putuskan untuk menangkapnya dengan seluruh upayaku. Pertama-tama aku coba menggunakan perangkap khusus. Ibu membelikannya di pasar. Bentuknya keren. Tidak seperti perangkap biasa. Malah lebih menyerupai pesawat antariksa. Kita hanya perlu meletakkan makanan didalamnya. Aha.... kena kau sekarang. Dengan penuh semangat, perangkap itu diletakan dibawah meja. Inilah tempat yang paling sering dikunjunginya. Malam ini aku bisa tidur nyenyak. Nyenyak sekali hingga aku bermimpi terbang ke bulan.

Ketika bangun tidur, hal yang pertama aku lakukan adalah meloncat ke tempat perangkap. Berharap dapat hasil yang hebat. Tak di nyana kaki ku terpeleset dan jatuh berguling tepat mengenai perangkap. Perangkap terpental ke tembok. Brak..... tutup perangkap terbuka dan jatuh kelantai. Aku terduduk dan terpana. Dari perangkap yang terbuka, menyembul seraut muka yang menyebalkan. Dengan gesit dia keluar dari tumpukan itu dan berlari masuk kedalam lubang. Kesal tak terkirakan. Sebal tak terkatakan.

Esoknya perangkap kembali dipasang. Aku menunggu dengan cemas dan penuh harap. Ternyata kesempatan tak datang dua kali. Ternyata keledaipun tidak jatuh kedalam lubang yang sama. Dia tak pernah sedikitpun menghampiri perangkap itu. Bahkan mendekatinyapun tidak. Dia kini selalu mengitari perangkap itu. Dan penantianku pun sia-sia.

Beraneka cara kemudian di gunakan. Mulai dari racun, lem hingga suara ultra. Namun tak satupun membawa hasil. Sering aku hampir putus asa. Tak jarang pula aku begitu marah hingga ingin rasanya menghancurkan lubang itu dengan buldozer. Atau meledakkan lubang sialan itu dengan peledak C4. Atau kalau perlu aku akan mengundang agen agen intelejen untuk membuat rekayasa tingkat tinggi yang akan menyebabkan dia dan bangsanya musnah dari muka bumi. Tapi itu tak akan mungkin. Itu laksana punguk merindukan sang rembulan. Karena aku tidak bisa melakukan itu semua. Aku tidak mampu melakukannya. Karena aku hanyalah seekor kucing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun