Mohon tunggu...
Ruang Cendikiawan
Ruang Cendikiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Film School

Happiness come in wave.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Film G30S-PKI Bukan Film Propaganda

11 September 2024   15:17 Diperbarui: 3 Oktober 2024   15:29 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Film ini dikreasi dengan dramaturgi yang kuat, penggarapan estetis yang tinggi, dan pemeranan yang bagus. Beberapa di antaranya, ada adegan tentara menerima dan meneliti beberapa foto jenderal yang akan diculik. Secara sengaja (dengan teknik close-up), diambil wajah-wajah yang akan diculik. Tidak ada foto Soeharto, yang kemudian hal ini membuat kontroversi mengenai peristiwa aslinya. Film pengkhianatan G-30S-PKI, dimaksudkan untuk mendukung ideologi militerisme di Indonesia, dengan menggambarkan peran militer dalam menumpas komunisme. Betapa berbahayanya jika militer disusupi oleh ideologi radikal sehingga seorang prajurit berani menghardik atasan, untuk kemudian membunuhnya. Itu secara gamblang digambarkan oleh film Pengkhianatan G-30S-PKI. Dalam Teori Sinema Dunia Ketiga misalnya, yang menyatakan bahwa pembuat film dari negara berkembang (dalam hal ini, pascakolonial). Gerakan 'Sinema Ketiga' mengkampanyekan praktik pembuatan film yang dipolitisasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, sejak kemunculan pertamanya pada tahun 60-an dan 70-an dengan mengangkat isu ras, kelas, agama, dan integritas nasional.

Contohnya adalah film The Battle Of Algiers 1966 film yang berkisah tentang keberhasilan para pejuang revolusioner, yang tergabung dalam FLN, (front pembebasan nasional Aljazair) yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan Perancis. klaim kemerdekaan menghabiskan waktu yang cukup panjang, disertai jatuhnya korban akibat kekerasan berkelanjutan dari Perang Sipil, mungkin lebih tepat disebut perang etnis antara pribumi beretnis Arab dengan warga pendatang dari Eropa. Gambaran dalam Film G30S-PKI adalah bab kelam dalam sejarah Indonesia merdeka. Sebuah film yang dibuat sineas Arifin C. Noer atas perintah Soeharto dimaksudkan, antara lain, sebagai dokumen melawan lupa tentang bab kelam dalam sejarah politik negeri ini. Dalam konteks dunia ketiga, sangatlah dipahami jika sampai saat ini Negara Adikuasa, masih mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang berasal dari Timur. Indonesia juga seperti itu, akibat dari adanya imperialisme budaya tersebut, semakin banyak pula kebudayaan-kebudayaan yang masuk ke Indonesia dan mempengaruhi budaya Indonesia. Mereka masuk melalui berbagai jenis cara, baik dari fashion (pakaian), tarian (dance), musik, artis/selebritisnya, politik, bahkan yang paling mendominasi dan paling terlihat adalah filmnya.

Hal ini kemudian membentuk persepsi 'warisan kolonialisme' Eurosentrisme yang di definisikan sebagai jejak yang masih tersisa, dari jaman kolonialisme, suatu proses di mana kekuatan Eropa mencapai posisinya 'adikuasa yang menghegemoni ekonomi, militer, politik, dan budaya di sebagian besar Asia, Afrika, dan Amerika yang dibentuk oleh total kontrol atas sumber daya. (Indochina Prancis, Kongo, Belgia, Filipina), dan pemukiman Eropa (Aljazair, Afrika Selatan, Australia, Amerika) (Shohat, Ella, and Robert Stam. Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the Media. 15). Film sebagai media komunikasi massa hingga kini masih bertahan di tengah perkembangan new media yang kian marak dalam berbagai aspek. Film dipandang dalam berbagai perspektif yang berbeda, baik sebagai seni, media edukasi, dan industri media massa. Dalam konteks industri media massa, film merupakan industri budaya yang bergerak dalam logika bisnis yang tidak dapat dilepaskan dari ekonomi media. Ekonomi media akan menggerakkan bisnis film dengan perhitungan profit yang sering kali mengabaikan peran dan posisi film dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pentingnya film bagi perjalanan bangsa dituangkan dalam Undang-Undang Perfilman tahun 1992 yang kemudian diperbarui pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 yang disesuaikan dengan perkembangan masa. 

Dalam UU Perfilman tahun 2009, dinyatakan bahwa bahwa (1) film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman; (2) bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi; (3) bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia; dan (4) bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi1 Berdasarkan keempat pertimbangan tersebut, maka negara bertanggung jawab untuk memajukan perfilman termasuk industri kreatif yang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pemerintah sebagai institusi juga menerbitkan buku yang mengangkat Peristiwa 1965. Ada dua buku yang diterbitkan, antara lain, Nugroho Notosusanto, Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan K.U.P G 30 S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1968), dan Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994). Kedua buku tersebut menjadi rujukan resmi yang menyatakan pandangan Pemerintah terhadap peristiwa 1965. Keduanya memiliki pandangan yang jelas, bahwa Gerakan 30 September 1965 adalah usaha Partai Komunis Indonesia mengkudeta Pemerintahan resmi, karenanya layak untuk ditumpas. Tanpa menyebutkan tentang bagaimana penumpasan tersebut dilakukan, kedua buku tersebut menjadi narasi resmi Negara terhadap sejarah masa lalu. Tafsir Negara inilah versi tunggal yang berlaku sejak Orde Baru Soeharto berkuasa hingga sekarang. Dengan kata lain Film G30S-PKI Tidak sepenuhnya Film Propaganda.

Kajian ini berdasarkan riset kualitatif dengan pendekatan level teks dengan metode semiotika, telaah deep focus, dan psikoanalisis Lacan, tujuan kajian ini untuk mengungkap ideologi film karya Arifin C Noer yang menggunakan konstruksi antropologi budaya Indonesia dan telaah estetik sinematik dalam perspektif deep focus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun