Media sosial hadir membersamai manusia dalam segala aspek dengan berbagai dampak. Saat ini semua orang tidak lepas dengan yang namanya medsos, khususnya Gen Z merupakan generasi yang tumbuh dan berkembang dengan teknologi sehingga mereka lebih akrab dengan teknologi sejak usia dini.Â
Media sosial adalah platform digital yang memungkinkan penggunanya untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan berinteraksi secara virtual. Platform ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, dengan miliaran pengguna di seluruh dunia yang mengaksesnya setiap hari.Â
Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok adalah beberapa contoh media sosial yang paling populer, dengan pengguna yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan usia. Penggunaan media sosial yang semakin meluas di berbagai kalangan telah mengubah cara dalam berinteraksi, bekerja, bahkan belajar.
Media sosial tidak hanya berdampak positif tetapi juga memiliki banyak dampak negatif, terutama bagi mereka yang kecanduan dan menghabiskan lebih banyak waktunya di medsos. Sekalipun penggunaan internet dan media sosial berdampak positif akan tetap berdampak negatif setelahnya (Nasi Jacquilne, dkk, 2021).Â
Neurosains hadir dengan mengungkap pengaruh negatif media sosial terhadap kinerja otak dimana hal ini nantinya juga bisa berdampak pada kinerja sehari-hari. Neurosains mempelajari cara kerja otak dan sistem saraf, serta bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, termasuk teknologi (media sosial). Dalam konteks ini, neurosains memainkan peran penting dalam memahami pengaruh media sosial pada otak manusia.Â
Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan pada pola aktivitas otak, mempengaruhi kinerja kognitif, emosi, serta perilaku sosial. Adiksi media sosial akan berdampak pada OFC (Orbitofrontal Cortex) dan dapat menyebabkan lack of social skill/ acquired sochiopathy) (Deekjong Lee, dkk, 2019). Adanya internet dan media sosial seringkali membuat kita melakukan multitasking, dimana kebiasaan ini berdampak pada bagian prefrontal dan dapat menyebabkan gangguan perhatian (fokus) (Eyal Ophir, dkk, 2009).Â
Saat ini juga sedang rama krisis kesehatan mental yang lebih banyak dialami oleh Gen Z, dimana generasi tersebut adalah generasi yang tumbuh bersama teknologi. Seseorang yang menghabiskan lebih banyak waktu di ruang maya (media sosial) tanpa adanya tujuan akan lebih rentan terkena depresi, hal ini juga dibuktikan oleh penelitian (Twenge, J,M., & Martin, G.N, 2020) pada remaja putri.
Penggunaan media sosial dan internet dapat mempengaruhi fungsi dan persepsi otak, serupa dengan kecanduan. Lebih kritis, mengarahkan bahan bakar dopamine ke hal-hal yang tidak bermakna di ruang maya.Â
Oleh sebab itu penting untuk semua orang lebih aware untuk mengurangi dampak negatif media sosial pada otak dengan penggunaan yang lebih bijak. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara detoksifikasi digital atau membatasi waktu penggunaan media sosial dengan mengatur jadwal "detoks digital," misalnya dengan tidak mengakses media sosial pada jam-jam tertentu atau menonaktifkan notifikasi untuk mengurangi distraksi.Â
Kemudian, Â mindfulness saat menggunakan media sosial dengan lebih sadar akan konten yang dikonsumsi dan bagaimana perasaan diri saat berinteraksi di platform tersebut. Â Yang terakhir, gunakan media sosial secara seimbang dengan memperhatikan kualitas interaksi daripada kuantitas. Fokus pada membangun hubungan positif dan menghindari konsumsi konten pasif yang tidak bermanfaat.
Oleh : Aldera Jean P