Mohon tunggu...
Ruang Kosong
Ruang Kosong Mohon Tunggu... -

Penulis Cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kyai Sontoloyo

10 November 2014   05:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:12 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sumber Kedaulatan Rakyat.

KYAI SONTOLOYO

--------------------------------------

OLEH: BASUKI FITRIANTO

Jauh hari sebelum ayah meninggal, beliau memberi pesan padaku atau lebih tepatnya memberi perintah: aku harus merawat keris pusakanya. Keris luk sembilan yang katanya berbahan dasar batu meteor. Keris yang diwariskan turun-temurun. Keris itu harus diperlakukan secara khusus dan tidak boleh main-main. Ayah mengibaratkan ‘jadikan keris seperti bagian dari tubuhmu’. Karena aku masih terkontaminasi dengan dunia anak-anak, aku mengangguk-angguk saja seperti sepasang patung pengantin.

“Keris pusaka itu warisan dari nenek moyang kita. Kata kakekmu, pembuat keris itu seorang Empu bernama Empu Gandring. Keris itulah yang selama ini menjaga ayah, kakekmu, buyutmu…”

“Menjaga? Bukankah percaya pada benda mati itu termasuk musrik?”

Ayah agak tersinggung dengan pertanyaanku. Kedua alisnya yang tebal menyambung seperti gerbong kereta. “Ayah hanya menyuruh merawatnya bukan menyembahnya!”

Begitulah, setiap ada kesempatan, pesan atau perintah itu selalu keluar dari mulutnya. Seperti biasanya aku pun menanggapi dengan pura-pura, sekedar ayah tidak marah.

“Menurut cerita kakekmu, keris pusaka itu dibuat dengan susah-payah. Sebelum menjadi bentuk keris, Empu Gandring berpuasa selama satu bulan. Berdoa agar Tuhan memberi kekuatan selama proses pembuatan keris itu.”

“Apa nama keris itu, yah?”

“Kyai Sontoloyo.”

“Nama yang aneh.”

“Aneh bagaimana? Itu nama yang cocok. Sejak selesai keris itu dibuat, keris itu sudah membinasakan ratusan garong, membunuh para pengacau kerajaan. Membunuh para sontoloyo.”

Ayah berapi-api waktu menceritakan kehebatan Kyai Sontoloyo. Kedua tangannya yang hitam dan kekar bergerak kaku mengencang.

“Di malam tertentu, Kyai Sontoloyo akan mengeluarkan cahaya yang mampu membuat mata pedih. Juga mengeluarkan aroma wangi yang mampu membangkitkan gairah cinta.”

Suara ayah memantul dalam ruangan penuh pernak-pernik benda-benda antik. Kadang suara ayah menempel pada patung kepala kijang. Lalu meloncat ke senjata api peninggalan Belanda. Dan kembali meloncat ke bandul jam besar yang jika malam berdentang membuat nyaliku menciut ketakutan.

Kadang aku berpikir, selama ayah mewarisi dan merawat Kyai Sontoloyo, pernah mengalami sendiri kisah-kisah hebat seperti yang ia ceritakan? Ini sudah jaman mutakhir. Peristiwa ada waktunya tersendiri. Apakah Kyai Sontoloyo masih sanggup menghadapi jaman gila ini? Jaman hitam jadi putih? Jaman keringat berubah jadi darah? Aku takut untuk bertanya. Aku takut ayah akan menggebrak meja bundar marmer dengan kaki-kaki berukir.

Tapi suatu hari, tanpa aku tanyakan langsung, ia menceritakan pengalamannya selama mewarisi Kyai Sontoloyo. “Ayah memang tidak pernah mempergunakan Kyai Sontoloyo untuk membunuh manusia jahat. Ayah hanya menaruhnya di kotak. Menabur bunga tiga warna setiap malam Jum’at Kliwon. Dan mengeluarkannya untuk dicuci setiap malam satu Suro.”

***

Pada suatu malam aku mendengar suara berisik di kamar ayah. (Saat itu ayah sedang pergi keluar kota). Suara seperti derap langkah kaki kuda sungguh membuat aku tak nyaman. Tadinya aku mengira itu adalah suara sepasang tikus yang mungkin sedang bercengkrama dan menduga suara itu akan segera berakhir. Tapi ternyata tidak. Sudah hampir satu jam suara itu tetap bergema menggelitik telinga. Dengan penuh was-was aku masuki kamar ayah. Suara itu ada di lemari pakaian ayah. Tanpa berisik kudekatkan telinga ke papan lemari. Aku masih menduga itu suara polah para tikus yang merasa bebas karena ayah pergi. Aku gebrak lemari agar para tikus lari ketakutan. Dan suara masih membandel menggoda. Jalan satu-satunya aku harus membukanya. Tapi pintu lemari terkunci dan celakanya aku tidak tahu di mana ayah menaruh kuncinya. Maka jadilah malam itu malam yang menyiksaku. Aku tidak bisa tidur nyenyak.

Esoknya aku ceritakan kejadian itu pada ayah. Kemurungan segera menyergap wajahnya setelah mendengar ceritaku.

“Akan terjadi sesuatu yang mengerikan di negeri ini. Kejadian apa, ayah tidak tahu.”

Aku diam seperti pohon gersang. Sungguh aku tidak tahu apa maksud ayah.

“Suara tadi malam itu bersumber dari gerakan-gerakan Kyai Sontoloyo. Ia seperti jiwa yang ingin mengabarkan tentang kejadian masa datang. Kejadian yang membuat Kyai Sontoloyo gelisah. Aku harus mencuci Kyai Sontoloyo  agar ia tenang kembali.”

***

Beberapa hari kemudian pecahlah kerusuhan. Kekacauan di mana-mana. Toko-toko dibakar dan dijarah. Wanita WNI keturunan diperkosa. Tulisan Pro Reformasi muncul di setiap pintu toko karena pemiliknya takut menjadi korban anarkis. Suasana benar-benar mencekam.

Aku mematung di depan radio mencoba membayangkan informasi yang diucap oleh penyiar. Dan aku teringat dengan ramalan ayah. Apakah kejadian ini yang mungkin ingin disampaikan Kyai Sontoloyo? Aku coba membenturkan akal dan hatiku. Akhirnya aku mengambil akal sehatku. Ah, mungkin kegelisahan Kyai Sontoloyo hanya kebetulan saja.

*Basuki Fitrianto lahir di Jogja kini bermukim di Solo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun