Mohon tunggu...
Ruang Kosong
Ruang Kosong Mohon Tunggu... -

Penulis Cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Abcde Dooor!

21 Oktober 2014   04:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:19 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sumber Koran Merapi

ABCDE DOOR!

-------------------------------

CERPEN BASUKI FITRIANTO

Kelihatannya aku harus memakai skala prioritas, mana yang harus aku keluarkan lebih dahulu, kalau tidak kepalaku bisa pecah. Ide-ide cerita itu menteror otak dan mereka masing-masing minta agar dikeluarkan lebih dulu. Suara-suara mereka berputar di kepala, mendenging membuat kepala pening.

“Diam!” bentakku sambil menggebrak meja.

Untuk sesaat mereka diam, tapi hanya sebentar, kemudian bergemuruh lagi.

A

“Mohon aku dikeluarkan dulu dari otakmu. Ide ceritaku bagus. Ceritanya juga menarik. Ini adalah cerita soal keyakinan, kepercayaan, yang bisa membuat manusia menjadi buas, membunuh sesama manusia karena beda keyakinan. Cerita diawali dengan beberapa orang bersenjata api masuk di sebuah perkampungan yang selama ini tentram. Orang-orang bersenjata itu dengan membabi buta menembaki penduduk kampung itu. Penduduk yang tidak mengira dengan serangan itu berhamburan. Tapi perkampungan sudah terkepung dan tak ada jalan keluar untuk lolos. Tubuh-tubuh bergelimpangan terkena tembakan. Tidak pandang bulu, anak kecil, laki-laki, perempuan, tua, muda. Tak ada belas kasih dari para penyerbu. Sebab para penyerbu itu sudah menganggap bahwa penduduk kampung itu adalah pengikut ajaran setan. Menurut keyakinan mereka, para pengikut setan wajib dibunuh.”

B

“Akulah yang harus lebih dulu dikeluarkan dari otakmu. Buat apa cerita yang jauh dari negeri sendiri? Di negeri sendiri lautan kisah tersaji. Aku ambil contoh soal penindasan dan kemiskinan. Ini cerita seorang tukang becak dan istrinya yang seorang pelacur dengan anak-anaknya yang masih kecil. Suami pelacur itu baru saja mengalami musibah. Suatu hari ketika ia sedang duduk di dalam becaknya, datang seorang laki-laki agak gemuk. Laki-laki itu memberi tawaran mengajaknya untuk ikut demo, nanti sehabis demo akan diberi imbalan seratus ribu. Kalau mau ia akan memberikan uang sepuluh ribu sebagai uang muka. Tukang becak itu bersedia. Maka keesokannya ia pergi ke tempat yang sudah ditetapkan oleh laki-laki tadi. Ketika sedang demo ternyata ada keributan. Para pendemo rebut dengan polisi. Si tukang becak beberapa kali terkena pukulan polisi. Ia terjatuh kemudian terinjak-injak oleh para pendemo yang lain. Karena luka parah akhirnya si tukang becak masuk rumah sakit. Selama di rumah sakit, laki-laki yang dulu menemuinya tidak pernah kelihatan lagi. Belum juga si tukang becak keluar dari rumah sakit, muncul musibah lain. Lokalisasi tempat istrinya mencari uang terkena gusuran. Lalu anak-anaknya dikeluarkan dari sekolah karena belum membayar biaya sekolah. Bukankah itu cerita yang menarik, yang membuat bergetar para pembaca?”

C

“A dan B, cerita kamu itu memuakkan dan menyedihkan. Buat apa cerita seperti itu. Hidup sudah dipenuhi kesedihan, kenapa harus kalian tambah dengan cerita penuh kesedihan? Harusnya akulah yang harus lebih dulu dikeluarkan dari otak ini. Ini cerita orang yang lagi bahagia. Seorang pejabat yang bahagia karena punya hajat menikahkan anaknya. Karena ia orang kaya, maka pesta untuk nikah anaknya juga harus wah juga. Para tamu undangan harus orang-orang terpandang pula. Setiap tamu yang hadir diberi cindera mata satu buah HP model terbaru. Untuk menghibur para tamu didatangkanlah artis-artis terkenal. Tak ada kesedihan disini.”

D

“A, B dan kamu C. Cerita kalian membosankan. Cerita yang menarik adalah cerita jaman dulu tapi dengan background jaman sekarang. Itu cerita yang baru dicari sekarang. Aku ingin mengkisahkan legenda Jaka Tarub, tapi ini adalah Jaka Tarub modern. Kalau dulu Jaka Tarub mencuri selendang salah satu bidadari, tapi untuk Jaka Tarub dalam ceritaku ini, ia akan mencuri salah satu kutang perempuan yang sedang mandi di kolam renang di sebuah hotel mewah. Ceritanya begini: Jaka Tarub dalam ceritaku ini adalah seorang pemuda, tukang bersih-bersih kolam renang. Ia belum kawin dan bercita-cita ingin memiliki seorang istri cantik dan kaya. Lalu ia teringat cerita Jaka Tarub. Di tempat ia bekerja, ia biasa melihat wanita-wanita cantik dan kaya mandi di kolam renang. Ia akan mengincar wanita yang menarik perhatiannya. Lalu ia akan mencuri kutang wanita itu. Ia berharap wanita yang kehilangan kutangnya akan mencarinya. Setelah dicari ternyata tidak ketemu. Akhirnya ia menemui wanita itu dan berusaha menjadi pahlawan. Rencana pemuda itu pun dimulai, ia mencuri salah satu kutang wanita yang sedang mandi, tapi ternyata kenyataan berkata lain. Pada mulanya wanita yang kehilangan kutang itu mencarinya, tapi selanjutnya ia tak peduli dengan kutangnya. Tanpa peduli ia pergi dari arena kolam renang tanpa menggunakan kutang.”

E

Tiba-tiba ide cerita E tertawa. “Cerita kalian itu sampah. Redaktur yang sudah terbiasa membaca cerita-cerita orang lain, membaca kalimat awal cerita kalian sudah bosan. Kalimat-kalimat selanjutnya dalam ceritamu itu tak akan menarik lagi bagi mereka. Buatlah cerita-cerita absurd. Buatlah kalimat-kalimat dengan puitis, imajinatif, penuh metafora. Buatlah kalimat-kalimat yang membuat jidat mengkerut. Seperti ceritaku ini. Aku akan bercerita tentang bulan yang menangis. Bulan yang sudah bosan dengan kesendiriannya. Ia ingin berdekatan dengan bumi, matahari dan bintang-bintang. Maka lalu ia memohon pada Tuhan agar dirinya didekatkan dengan bumi, matahari dan bintang-bintang. Tuhan mengabulkan. Tapi bukan kebahagian yang ia dapatkan, tapi kekacauan. Bumi berguncang, matahari menyala-nyala mengeluarkan api, bintang-bintang hancur. Itu adalah cerita yang menarik bukan?”

DOOR!

Kepalaku cenut-cenut. Sudah dua butir obat sakit kepala aku telan, tapi cenut-cenut itu belum hilang juga. Itu diakibatkan ide-ide yang semakin kurang ajar itu. Seenaknya menjajah otakku. Ide-ide itu makin berdenging. Aku sudah lelah dan mengantuk, tapi ide-ide seolah melarangku untuk tidur.

“Kalian bisa diam tidak?!” bentakku sambil memukul kepalaku sendiri.

Sesaat mereka diam. Tapi berisik lagi.

“Kalau tidak diam, kalian akan aku keluarkan dari otakku!”

Mereka diam. Tapi ternyata berisik lagi.

Aku sudah tidak tahan dengan kebisingan mereka. Maka aku ambil senjata api yang ada di dalam laci. Aku letakkan moncong pistol ke kepalaku. Lalu aku tarik pelatuknya. Dan door! Pistol menyalak. Aku tergeletak di atas lantai. Suara-suara berisik itu menghilang dalam aliran darah yang keluar dari kepalaku.

Solo 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun