Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money

Soal Daging Sapi, Pemerintah Gagal Paham

2 Agustus 2015   06:55 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:07 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Harga daging sapi pasca Idul Fitri tidak turun sebagaimana biasanya bahkan meningkat cukup signifikan, di beberapa pasar di DKI Jakarta mencapai Rp. 130 ribu/kg, dan Bulog telah diperintahkan untuk melakukan operasi pasar lagi? Banyak kebijakan pemerintah dilahirkan untuk menurunkan harga daging sapi, ternyata tidak memberikan pengaruh. Kadisperindag Jabar di harian Pikiran Rakyat pernah menyatakan bahwa kenaikan harga daging sapi menjelang lebaran lebih disebabkan oleh faktor psikologis bukannya akibat supply demand, sebab stok daging mencukupi. Peryataan tersebut kita uji dengan fakta yang terjadi saat ini, jika penyebabnya faktor psikologis tentu harga daging akan turun pasca lebaran. Nyatanya harga malah naik, tentu penyebabnya bukan lagi faktor psikologis, tapi lebih disebabkan oleh kondisi supply demand. Artinya pengadaan sapi potong di RPH (Rumah Potong Hewan) berkurang sebagai akibat pemangkasan izin impor di triwulan ketiga ini. Asalnya pemerintah telah menetapkan kuota impor sapi sebanyak 250 ribu ekor, realitanya dipangkas menjadi 50 ribu ekor. Pemerintah tidak berkaca terhadap kejadian di tahun 2012-2013 lalu, tatkala pemangkasan impor sapi dan daging sapi secara mendadak dari 53 % menjadi 17,5 %, karena data hasil sensus yang dianggap sudah melampaui titik maksimal swasembada daging sapi. Akibatnya harga melambung tinggi dari Rp. 70 ribuan menjadi Rp 100 ribuan per kilogram.

Dampak Kebijakan

Kebijakan pemangkasan kuota impor kali ini merupakan bukti “gagal pahamnya pemerintah” terhadap fenomena yang terjadi dan alternatif solusi yang diambilnya. Padahal opini penulis pada pada berbagai kesempatan menyatakan bahwa kebijakan yang selama ini ditempuh pemerintah justeru tidak akan memberikan dampak positip terhadap penurunan harga daging sapi. Malahan yang akan terjadi bahkan lebih dahsyat dari yang diperkirakan sebelumnya, yaitu antara lain terjadinya depopulasi sapi potong dan sapi perah di negeri ini. Jadi kebijakan tersebut, bukannya melindungi peternak sapi didalam negeri malah sebaliknya. Atau memang, fenomena ini “by design” untuk melancarkan masuknya daging sapi dari India. Bayangkan saja, mulai dari perubahan UU 19/2009 sampai dengan pernyataan Mentan akan mengimpor sapi dari India.

Dampak lanjut dari kebijakan tersebut akan terjadi depopulasi sapi potong, hal tersebut disebabkan telah terbentuk pola usaha ternak sapi potong yang mengandalkan ternak sapi yang memiliki bobot badan kecil (dibawah 350 kg) karena lemahnya daya beli. Sapi-sapi besar tidak menjadi andalan bagi pedagang, baik bagi kepentingan konsumen saat ini maupun di hari raya kurban. Akibatnya, permintaan terhadap sapi lokal menjelang idul kurban meningkat tajam bagi jenis sapi madura maupun bali  dan sapi lokal lainnya yang memiliki bobot badan dibawah 350 kg. Hal ini bertolak belakang dengan konsep produksi usaha peternakan yang secara efisien harus menghasilkan sapi dengan bobot badan besar, yaitu sekitar 500-600 kg siap potong. Demikian pula halnya dengan depopulasi pada usaha peternakan sapi perah rakyat. Jika harga sapi naik tajam, maka peternak sapi perah rakyat tidak lagi berkehendak memelihara sapinya sampai laktasi ke tujuh, cukup hanya sampai laktasi keempat saja. Dampaknya terhadap sistem replacement stock berubah total, sehingga sulit bagi koperasi susu untuk mengembalikan peningkatan produksi susunya. Akibatnya telah terjadi peningkatan rasio impor dari 70% menjadi lebih dari 80%. Kini, situasi tersebut telah terbentuk secara masif setelah terjadi kenaikan harga di tahun 2012 lalu. Pada kondisi seperti ini, diperlukan inovasi baru sistem budidaya sapi perah dengan batas maksimum empat kali masa laktasi, guna menjawab berbagai fenomena dampak kenaikan harga daging sapi.

 Dampak terhadap Perdagangan dunia

Selain hal tersebut, dampak kebijakan buka tutup impor sapi bakalan yang dilakukan pemerintah telah mampu melumpuhkan sistem perdagangan sapi di dunia internasional. Pasalnya sistem perdagangan global antar negara dirancang dalam waktu yang panjang, tidak seperti ‘jual beli kacang’ di dalam negeri. Mulai dengan pemesanan angkutan kapal laut yang terjadwal sampai dengan pengumpulan dan seleksi ribuan sapi dipelabuhan negara pengeksport. Bisa dibayangkan, rancangan yang telah dibuat minimal selama empat bulan dan dirancang untuk setahun dibatalkan. Kerugian tampak didepan mata para investor, ribuan dolar diklaim akibat ‘demorage’ kapal yang tidak digunakan sesuai jadwal yang telah disepakati. Ternak sapi yang kadung dikumpulkan dipelabuhan negara exportir, yang telah disiapkan jauh waktu sebelumnya. Bisa dibayangkan pula betapa ‘berangnya’ mitra bisnis para pelaku usaha di negara eksportir.

Kebijakan seperti ini telah pula membuat, kebijakan pemerintah Australia untuk tidak tergantung 100% pemasaran ternaknya ke Indonesia dalam rangka melindungi peternaknya. Belum lama ini, pasca pemerintah memangkas volume impor, pemerintah Australia telah pula membuka keran ekspor ternaknya ke RR China. Kita tahu bahwa RR China sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, juga memiliki potensi pasar untuk menyerap ternak sapi hidup dari Australia. Bisa dibayangkan dimasa-masa mendatang, negeri ini akan bertambah sulit untuk menyediakan kebutuhan daging sapi bagi masyarakat.

Solusi Dasar

Sebenarnya solusi yang paling mendasar penyelesaian supply demand dalam kasus ini, adalah peningkatan ketersediaan sapi lokal siap potong di dalam negeri. Sapi betina produktif sebagai pabrik sapi hidup, telah terbantai di RPH-RPH di negeri ini sekitar 30 % (sekitar sejuta ekor) setahun sebagai akibat kebijakan penurunan kuota impor di tahun 2012 lalu.  Seandainya kebijakan pemerintah diintensifkan terhadap penyelamatan sapi betina produktif yang terbantai dan juga mengintesifkan program perbibitan sapi sawit. Implikasinya terhadap harga daging sapi di dalam negeri akan jauh lebih terasa, dengan demikian juga akan berdampak positip bagi pengembangan sapi potong dan kesejahteraan peternak.

Sebenarnya pemerintah telah memiliki progran ‘tunda potong’ dan ‘penyelamatan sapi betina produktif’ yang kini di moratorium. Penghentian program ini lebih disebabkan pola operasionalisasinya tidak melibatkan secara intensif para pelaku bisnis, sehingga cenderung dimanfaatkan seolah-olah merupakan kegiatan ‘sinterklas’ yang membagi-bagi hadiah bagi peternak di pedesaan. Seharusnya program ini dikelola secara profesional dan memberikan insentif bagi pesertanya tanpa perlu menggunakan dana APBN.  Prinsip program ini adalah membeli sapi betina yang telah masuk RPH dengan perhitungan harga karkas, kemudian menjualnya kembali setelah masa pemeliharaan tertentu dalam bentuk sapi bunting. Logikanya bisnis ini menarik dan juga menguntungkan. Sesuai dengan amanat UU No. 41/2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, bahwa perbibitan merupakan tanggung jawab pemerintah. Oleh karenanya, sebagai pionir bisnis ini harus dilakukan oleh perusahaan BUMN peternakan, bagi swasta yang berkecimpung dalam bisnis ini layak diberikan insentif.

Selain hal tersebut, program integrasi sapi sawit sebagai penyedia bibit sapi bakalan merupakan pasar bagi ‘penangkar sapi betina produktif’ asal RPH. Diujung akhir konsep ini adalah merubah sistem pemeliharaan peternakan sapi rakyat dari pola usaha perbibitan menjadi usaha penggemukan. Sehingga nilai tambahnya akan lebih besar yang berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan peternak di perdesaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun