Dalam beberapa minggu terakhir ini, media ramai memberitakan mengenai gejolak harga daging sapi, setelah Jokowi mengeluarkan pernyataan; “Lebaran Tahun Ini Kita Jungkir Balikkan Harga Pangan Menjadi Turun”. Sesungguhnya, kenaikan harga ini telah menjadi rutinitas dan selalu berulang setiap tahun. Banyak pendapat, meragukan kemampuan pemerintah bahkan ada yang menyatakan tidak akan mungkin pemerintah mampu melakukan ini hanya dalam waktu yang sangat singkat sementara kenaikan harga sudah terjadi selama puluhan tahun seolah sudah merupakan budaya.
Selain itu, penetapan harga daging sapi dilapangan ibarat “bejana berhubungan” yang dipengaruhi oleh perilaku budaya masyarakat, yaitu bahwa msayarakat lebih suka daging segar ketimbang daging beku. Tentunya pemerintah dengan cara-cara dan waktu yang sangat singkat saat ini akan diuji kemampuanya, untuk menurunkan harga daging sapi dengan harapan tidak mencari “kambing hitam” jika gagal.
Harga daging sapi
Sejak dikeluarkannya permendag No. 669/2013, salah satu tolok ukur pembangunan peternakan sapi potong dilakukan melalui pendekatan harga. Pada tahun 2013 pemerintah menetapkan harga patokan Rp. 75 ribu/kg. Kondisi tersebut tidak pernah tercapai, bahkan harga daging sapi pernah melambung tinggi hingga Rp. 140 ribu/kg. Kini pemerintah menetapkan harga daging Rp. 80 ribu/kg. Bahkan Jokowi memerintahkan bahwa Lebaran tahun ini harga daging harus berada di bawah Rp. 80 ribu/kg, mampukan pemerintah menciptakan kondisi ini?
Di negeri ini, terbentuknya harga daging sapi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Sementara itu, penetapan “harga statistik daging sapi” yang dilakukan BPS yaitu dengan menentukan daging yang berasal dari “paha belakang”. Mengapa BPS tidak menetapkan harga daging yang berasal dari paha depan atau “bone less”? Jika saja penetapan harga daging yang berasal dari paha depan, tentu harganya jauh lebih murah.
Pengaruh Harga terhadap Produsen
Sebenarnya harga yang berlaku saat ini merupakan harga “keseimbangan baru” yang terbentuk atas kemampuan produsen dengan daya beli konsumen sejak dua tahun terakhir. Jika harga ini diturunkan, tentunya yang akan dirugikan adalah usaha peternakan di dalam negeri. Menurut penelitian Tawaf (2013) bahwa harga produk ternak memberikan pengaruh nyata (38 %) terhadap upaya pengembangan skala usaha ternak. Artinya, harga merupakan komponen insentif bagi pengembangan usaha peternakan rakyat di dalam negeri. Jika saja pemerintah berkeinginan menurunkan harga, sesungguhnya identik dengan tidak menginginkan bahwa peternakan sapi di dalam negeri berkembang (?), tentu saja pendapat ini pastinya salah. Namun, siapa sesungguhnya diuntungkan dengan penurunan harga ini?
Perbandingan harga
Kita semua sangat paham, bahwa 98 % populasi ternak sapi potong (sekitar 15 juta ekor) dikuasai oleh sekitar 5,5 juta keluarga peternak rakyat yang berusaha secara subsisten tradisional. Ternak merupakan penopang kehidupan perekonomian rakyat diperdesaan. Berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Hongkong maupun Filipina, mereka tidak memiliki ternak sapi seperti dinegeri ini.
Misalnya, Malaysia saja hanya memiliki sapi sekitar 850 ribuan ekor dikelola oleh sebagian besar perusahaan peternakan, yaitu 500 perusahaan feedlot menguasai 250 ribu ekor, 1.300 perusahaan integrasi menguasai 200 ribuan ekor dan 37 ribu peternak tradisional menguasai 400 ribuan ekor. Di Malaysia, upaya mengontrol harga dilakukan pemerintah antara lain dengan menerbitkan price control and anti profiteering act 2010, yaitu Undang-undang Pengendalian Harga dan Anti Pengambilan Keuntungan yang Berlebih.
Kebijakan itu untuk mengontrol kenaikan harga dan mencegah aksi spekulasi untuk meraih untung besar. Berdasarkan hal tersebut, struktur harga daging di Malaysia bisa digolongkan kedalam harga murah untuk daging asal India, harga sedang, daging yang berasal dari Australia dan daging mahal produksi peternakan domestik. Berdasarkan informasi tersebut, sangat tidak layak membandingkan harga daging di Indonesia dengan Malaysia, Singapura maupun negara lainnya. Pasalnya, di Indonesia harga dilepas ke pasar tanpa pengendalian sesuai dengan mekanisme pasar.