Konsumen Daging
Mengapa pemerintah sangat panik, jika harga daging mahal? Mengapa harga daging sapi sepertinya tidak boleh mahal? Padahal menurut kajian yang dilakukan oleh Prof. Tjeppy Soedjana mantan Dirjen PKH bahwa daging sapi hanya dikonsumsi oleh 16 % penduduk. Konsumen daging sapi sebagian besar berada di perkotaan, jadi tidak benar bahwa seluruh rakyat indonesia mengonsumsinya. Negeri ini sebagai negara kepulauan mengonsumsi ikan sebagai sumber utama protein hewani.
Sedangkan sumber protein hewani asal ternak berkontribusi hanya sekitar 42,8%, yang berasal dari daging putih (unggas), domba, kambing, babi, kerbau dan sapi. Kontribusi daging sapi sangat kecil yaitu sekitar 5 %, dimana 95 % sumber protein hewani daging lainnya dipenuhi daging putih (unggas) dan daging merah (domba, kambing dan kerbau).
Apabila dilihat berdasarkan kontribusinya terhadap perekonomian, ternyata menurut kepala BPS (2014) Daging sapi tidak memberikan pengaruh banyak terhadap inflasi. Untuk mengatasi lonjakan harga sapi yang sudah terjadi di bulan Ramadhan lalu, BPS menyarankan pemerintah melakukan upaya pengendalian harga daging sapi dengan mendorong mengonsumsi ikan ketimbang menambah kuota impor. Lantas apa sesungguhnya yang meresahkan pemerintah tentang tingginya harga daging sapi ini? Sehingga secara intensif melakukan kegiatan yang bahkan menjadi kontra produktif terhadap upaya meningkatkan produksi. Misalnya membuka keran impor daging secara besar-besaran padahal pemerintah mengharapkan swasembada dan kedaulatan pangan.
Bisnis Daging Impor
Dibalik persoalan tersebut diatas, sesungguhnya bisnis daging impor sangat menjanjikan. Pasalnya, murahnya harga daging di negara-negara maju akibat usahaternak yang efisien dan murahnya daging sapi asal India, karena masyarakatnya tidak mengonsumsi daging sapi. Kondisi inilah sesungguhnya yang mengakibatkan harga daging sapi menjadi komoditi politik sehingga tidak mungkin diselesaikan secara teknis saja. Lihat saja, kasus daging impor ilegal sejak tahun 2000 hingga kini dibiarkan pemerintah dan kasus LHI (2013) yang menumbuhsuburkan pemburu rente dan penikmat bebas di luar para pelaku bisnis daging sapi.
Maraknya kasus daging ilegal terjadi lantaran harga jeroan dan daging-daging non kelas dinegara exportir semuanya boleh disebut sebagai tuna nilai, sementara di negeri ini dikonsumsi dengan harga yang berlipat-lipat. Melihat peluang ini, sepertinya pemerintah tidak main-main, dengan diterbitkannya PP No. 4/2016 dan akan menerbitkan permentan untuk membuka impor daging asal India yang belum bebas PMK. Kebijakan ini sangat kontroversial karena berpotensi melanggar UU yang sedang diuji materi di MK.
Sesungguhnya kemelut ini diduga sebagai salah satu bentuk “economic terorism” yang menyebabkan negeri ini akan masuk kepada kondisi keterperangkapan pangan yaitu menjadi tergantung kepada impor seperti yang terjadi di Singapura, Malaysia, Hongkong dan Filipina dan bertolak belakang dengan cita-cita swasembada dan “kedaulatan pangan”....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H