Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money

Dampak Gejolak Harga Daging

23 Agustus 2015   20:29 Diperbarui: 23 Agustus 2015   20:49 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masalah harga daging sapi telah menjadi trending topik di seluruh media sosial di negeri ini, sampai-sampai presiden Jokowi pun turut membahasnya secara intensif. Seluruh lapisan masyarakat negeri ini seolah tak hentinya membicarakan kenaikan harga daging sapi yang meroket dalam sebulan terakhir pasca hari raya idul fitri. Namun dalam seminggu terakhir ini, gejolak harga daging sapi mulai mereda dan sepertinya akan berakhir. Indikasinya pedagang daging sudah mulai berdagang kembali, walaupun harga di tingkat eceran masih relatif tinggi; Mentan pun sudah bertemu dengan seluruh feedloter anggota APFINDO, demikian juga Menteri Perdagangan sudah meminta maaf kepada ‘peternak baik’.

Apabila kita kaji secara teoritis,  terbentuknya harga daging sapi dapat terjadi atas beberapa hal sebagai berikut: pertama, harga ditentukan atas biaya produksi, pada kasus ini terbentuknya harga lebih disebabkan dorongan faktor penawaran dari sisi produsen. Kedua, harga ditetapkan atas dasar tarikan kekuatan pasar atau permintaan konsumen. Selanjutnya faktor yang ketiga, ditetapkan atas dasar kehadirannya komoditi kompetitor. Namun demikian ada juga yang menetapkan harga jualnya, didasarkan atas kualitas dari barang itu sendiri.  Keseluruhan terbentuknya harga tersebut, mekanismenya akan tunduk kepada hukum permintaan dan penawaran.

Dampak kebijakan

Pada gejolak harga daging sapi dalam sebulan terakhir ini, hampir semua ahli dan  pengamat  peternakan menyatakan; bahwa kenaikan harga daging sapi yang spektakuler tersebut  sebenarnya lebih disebabkan karena kebijakan pemerintah yang memangkas rencana volume impor sapi dari 250 ribu ekor di quartal ke tiga menjadi hanya 50 ribu ekor. Keputusan pemangkasan volume impor ini ternyata tidak didukung oleh data yang akurat dan waktu yang tepat. Sehingga menimbulkan pasokan yang berkurang dan tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli konsumen. Dampaknya terjadi kondisi yang fenomenal, antara lain harga daging sapi meroket mencapai Rp. 130.000,00/kg; beberapa perusahaan feedloter di kriminalisasi karena dianggap menimbun sapi; pedagang daging mogok berdagang karena merugi; selanjutnya, dalam inspeksi mendadak ke perusahaan feedlot di Tangerang, Mentan meminta kepada pemilik PT TUM agar harga sapi hidup diturunkan dari Rp. 44.000,00/kg berat hidup menjadi Rp. 38.000,00/kg berat hidup; fenomena lainnya yang terjadi diluar sentra konsumen, yaitu di sentra produsen ternak sapi, ternyata bahwa sebagian besar peternak sapi potong rakyat telah menahan ternaknya untuk tidak dijual. Mereka akan menjual ternaknya pada saat hari raya kurban. Selain itu, Pemda Prov. Jawa Timur telah menutup pengeluaran ternaknya ke provinsi lainnya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi tigabulan mendatang, setelah stock sapi diperusahaan feedlot habis. Artinya akan terjadi kekurangan ternak di Jabodetabek lebih parah dari kondisi saat ini, diduga kuat akan terjadi depopulasi sapi perah yang tidak terkendali, seperti kasus 2012-2013 lalu. Namun demikian, pemerintah ternyata telah menyepakati bahwa di triwulan ke 4 akan memberikan izin impor sebanyak 300 ribu ekor, sehingga diharapkan dampak negatif depopulasi tidak akan terjadi.

Perbaiki data

Dibalik kemelut gejolak harga daging sapi ini terungkap banyak kasus yang kita harus teladani dan perbaiki dimasa mendatang dalam rangka membentuk iklim kondusif bagi pembangunan peternakan sapi nasional, antara lain tentang; data statistik dan kekeliruan penafsirannya. Kasus data ini, mutlak dan harus dilakukan peninjauan ulang terhadap data statistik peternakan yang dipublikasi pemerintah. Logikanya, dimana pun data itu dipublikasi seharusnya data itu tidak berbeda. Realitanya data pemerintah berbeda-beda baik yang dipublikasi antar kementrian maupun antar pemerintah pusat dan daerah. Kelembagaan yang harus direvitalisasi dan yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah BPS dan Badan Litbang Kementrian. Kemampuan interpretasi terhadap data adalah kepiawaian para petinggi kementrian dalam menterjemahkan angka-angka statistik. Kemampuan ini,  akan direspons oleh masyarakat dalam bentuk fenomena atau kegiatan perekonomian yang terjadi.

Kuasai stock

Pertanyaan berikut yang perlu disikapi oleh para penentu kebijakan adalah, bahwa kekuatan ‘perusahaan feedloter’ yang hanya menguasai 2 % dari total populasi ternak nasional mampu berkontribusi terhadap  pangsa pasar sebesar 92 % di wilayah konsumen (Jabodetabek), tentu akan mengendalikan harga di konsumen akhir. Artinya, jika saja pemerintah ingin mengendalikan harga di konsumen, harus mampu menguasai sistem distribusi dengan stock sekitar 40 % dari pangsa pasar di wilayah konsumen dengan asumsi harus mampu memanfaatkan momentum yang tepat.  Selain hal tersebut,  terungkap pula bahwa mekanisme bisnis peternakan sapi potong masih dibebankan kepada peternakan rakyat yang menguasai 98 % populasinya dalam bidang perbibitan. Seharusnya peternakan rakyat direorientasi menjadi usaha penggemukan yang bermitra dengan perusahaan feedlot; sedangkan fungsi perbibitan diambil alih oleh pemerintah dengan memberdayakan BUMN yang menanganinya dalam bidang industri perbibitan.

‘gaung lampung’

Pasca pengakuan kegagalan swasembada daging sapi yang diakui oleh Mentan di era pemerintahan SBY, program pengembangan sapi potong seolah tanpa arah. Hal ini disebabkan hingga kini tiada ‘road map’ atau ‘blue print’ yang digunakan pemerintah, yang ada program ‘sentra peternakan rakyat (SPR)’ yang bergerak di subsistem hulu dan budidaya (perbibitan dan pendidikan peternak) tidak holistik untuk menjawab tuntutan pembangunan peternakan sapi potong nasional. Sesungguhnya konsep ‘gaung lampung’ nya Dr. Soehadji (1995) yang memiliki tiga azas kesimbangan antara produksi domestik dan impor. Pertama, azas kelestarian sumber daya ternak nasional. Kedua, azas keseimbangan pasokan dan permintaan, dan ketiga, azas kecukupan dan kemandirian. Konsep tersebut menyebutkan bahwa Peternakan rakyat merupakan tulang punggung; industri penggemukkan (feedlot) sebagai pendukung dan impor daging sebagai penyambung. Formula ini sesungguhnya masih layak untuk digunakan sebagai rujukan dalam membangun peternakan sapi potong nasional, melengkapi program SPR nya ditjen peternakan dan kesehatan hewan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun