Mohon tunggu...
Rusdy Simano
Rusdy Simano Mohon Tunggu... -

Find me in Quora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Proposal Elektrifikasi Pedalaman Indonesia

8 Oktober 2015   15:17 Diperbarui: 8 Oktober 2015   15:19 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pedalaman Indonesia masih banyak yang belum terjangkau oleh listrik karena infrastruktur yang masih minimal. Memasang jaringan kabel listrik ke daerah pedalaman masih sulit dan mahal.

Biasanya, daerah pedalaman menggunakan genset (generator set). Nah, menggunakan BBM untuk listrik sangat boros dan mahal. Contoh, hanya untuk penerangan dan mengisi ulang baterai, penduduk ini [2] menghabiskan Rp50,000 per malam . Boros bukan?

Belum lagi masalah logistik bahan bakar minyak ke daerah pedalaman. Semakin terpencil, semakin sulit untuk mendapatkan bahan bakar. Contoh, di daerah Timur Indonesia, bahan bakar saja sampai dikorupsi [3]. Waduh, sudah jatuh, tertimpa tangga pula!

Nah, kebanyakan dari kita (yang bisa akses internet dan baca) sudah tahu, bahwa panel surya jauh lebih cocok untuk elektrifikasi daerah pedalaman. Dengan tidak perlunya bahan bakar (kecuali sinar matahari), semua masalah di atas, ya teratasi!

Tapi, kenapa kita (Indonesia) masih sulit menerapkan sistem panel surya ke daerah pedalaman? Instansi pemerintah sudah banyak yang mencobanya [4], dan juga organisasi non-profit [5], dan banyak lainnya. Tapi, tetap saja masih banyak desa dan daerah pedalaman yang belum terjangkau listrik. Tanya kenapa?

Menurut saya, masalahnya bisa dikategorikan sebagai berikut:

1. Keterjangkauan Harga
Panel surya dan baterai memerlukan harga beli yang tinggi, walaupun ongkos operasional selama penggunaan hampir nol. Masalahnya, para pengguna hanya sanggup membeli dengan harga beli yang rendah, dengan harga operasional yang 'terjangkau'.

Masyarakat pada umumnya lebih memilih untuk membeli gen-set kecil seharga satu juta dengan membeli BBM seumur hidup (ongkos operasional), dibanding membeli perangkat panel surya dan baterai seharga 3 - 4 juta rupiah (walaupun tanpa biaya operasional sepeser pun).

2. Standardisasi
Melihat contoh-contoh sukses dari lapangan (seperti [4] dan [5]), masih belum ada standardisasi seperti: tegangan, baterai, dan colokan apa yang dipakai. Semuanya terserah donatur.

Dengan adanya standardisasi, harga sistem secara keseluruhan bisa menjadi lebih murah. Para supplier tidak perlu memproduksi berbagai macam colokan, satu saja cukup. Contoh: bagi yang tinggal di kota, selama punya 'colokan' listrik, tinggak 'nyolok' bukan? Nggak usah pusing-pusing mikir colokannya nggak cocok, atau tegangannya ngaco?

Semakin banyak kompetisi untuk hal yang sama, harga akan menjadi lebih murah, gampang kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun