Mohon tunggu...
Riski Rosalie
Riski Rosalie Mohon Tunggu... Freelancer - Listen, Keep, Write it Down

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pulsa Kok Kena PPN?

1 Februari 2021   23:56 Diperbarui: 2 Februari 2021   00:05 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.unsplash.com (Priscilla Du Preez)

Beredarnya informasi penarikan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dari transaksi jual beli pulsa & kartu perdana sayup terdengar. Meski tidak menjadi kabar yang menghebohkan, barangkali bagi sebagian kecil kelompok hal ini menimbulkan tanda tanya. Mengapa bidang transaksi seperti ini saja sampai dikenakan dua jenis pajak? 

Meski pemerintah terkesan kurang kerjaan dengan menarik pajak pada lingkup ini, bukan berarti ini hal yang sederhana. Meski terkesan kurang kerjaan, langkah ini merupakan bentuk kesetaraan penarikan pajak dari masyarakat pelaku usaha. Sehingga tidak ada celah bagi sejumlah besar orang untuk bebas dari pajak penghasilan yang selama ini belum ternaung oleh aturan perpajakan. 

Yang tetap menjadi pertanyaan adalah "mengapa harus ada pajak pertambahan nilai?". Ini juga menjadi pertanyaan saya terhadap kebijakan pemerintah dalam perpajakan ini. Bila pelaku usaha dikenakan pajak penghasilan maka merupakan hal yang wajar. Namun bila pembeli pulsa dan kartu perdana pun dikenakan pajak pertambahan nilai, maka akan disusul dengan pertanyaan "ada apa?". 

Pulsa merupakan barang konsumsi cepat habis yang dipakai oleh masyarakat, sama seperti halnya membeli makanan di warung kecil. Bukankah akan membuat tercengang semisal kita membeli jajanan di pinggir jalan, dan itupun kita dikenakan pajak pertambahan nilai? Makan di restoran dikenakan pajak restoran kita bisa wajar. Tapi membeli jajanan pasar dikenakan pajak pertambahan nilai apakah masuk akal? 

Pulsa bukanlah aset berbentuk keras seperti halnya kendaraan ataupun barang berwujud lainnya. Pulsa dibeli, maka akan segera habis. Pulsa tidak bisa diperlakukan sama dengan kendaraan ataupun benda mewah lainnya (perhiasan, tas mewah, dll), yang wajar bila dikenakan pajak pertambahan nilai, karena punya nilai jual lagi yang masih tinggi, dan sifatnya adalah aset. 

Garis besarnya, saya setuju bila penjual dikenakan pajak penghasilan , yang tentunya harus menyesuaikan besaran masing-masing penjual. Namun, mengenai pajak pertambahan nilai, saya tidak mampu menerawang pikiran pemerintah sampai bisa-bisanya bertindak seperti itu. Menyetarakan pulsa yang konsumsinya cepat seperti membeli jajanan pasar sama dengan aset terlihat sangat konyol. 

Note: Tulisan saya pada artikel ini tidak bermaksud untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang paham soal perpajakan. Opini saya dalam tulisan ini merupakan pandangan sedikit tahu saya tentang pajak pertambahan nilai, yang dalam pandangan saya dikenakan pada wujud aset mewah, baik itu berwujud fisik maupun nonfisik seperti SBN. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun