Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadikan Terpidana Mati Narkoba Sebagai Pahlawan

5 Mei 2015   09:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://img2.wikia.nocookie.net

[caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Sumber : http://img2.wikia.nocookie.net"][/caption]

Ungkapan bahwa pena itu lebih tajam dari pedang memang tidak dapat dipungkiri paling tidak dalam kasus Bali Nine dan hukuman mati Bali Duo.

Bagaimana kita dapat menyaksikan media Australia menggiring opini publik bahwa mereka adalah anti narkoba tapi mereka tidak setuju dengan hukuman mati karena hukuman mati bertentangan dengan Human Right dan merupakan tindakan barbar.

Derasnya pemberitaan media ini sangat berpengaruh pada opini masyrakat Australia tentang hukuman mati Bali Duo ini, bahkan sampai pada suatu titik terbentuk opini seolah-olah pengedar narkoba tersebut adalah pahlawan karena lebih menonjolkan Bali Duo sebagai manusia yang sudah bertobat menjalani hukuman selama 10 tahun dan berhak mendapatkan pengampunan.

Menanggapi jumpa press yang dilakukan oleh Australian Federal Police (AFP) kemaren, secara terbuka pengacara Bali Nine menyalahkan pihak AFP yang memberikan informasi tentang penyelundupan tersebut kepada pihak kepolisian Australia.Bahkan pengacara tersebut menyatakan bahwa AFP melakukan kesalahan besar jika dengan alasan untuk menyelamatkan korban narkoba menyebabkan dihukum matinya Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Bahkan salah satu universitas yaitu Australian Catholic University masih bersikeras untuk meluncurkan program besiswa Bali Duo yang mengundang banyak kecaman.Bahkan Perdana Menteri Australia Tony Abbott menyatakan bahwa ide pemberian beasiswa ini kurang tepat dan aneh.

Hari ini berbagai media tampaknya mulai lagi menggalang opini untuk melanjutkan pemberitaan hukuman mati ini dengan mengangkat cerita tentang Lindsay Sandiford, nenek berusia 58 tahun warga negara Inggris yang juga akan segera dihukum mati.

Permainan kata-kata untuk membangkitkan emosi para penentang hukuman mati kembali dilakukan.Beberapa contoh rangkaian kata yang ditujukan untuk memainkan kembali emosi pembaca adalah sbb:

  • Lindsay Sandiford umur 58 tahun mengatakan bahwa dia akan segera mati setelah 7 terpidana mati narkoba telah dilaksanakan hukuman matinya minggu lalu yang menimbulkan gelombang protes Internasional
  • Hukuman mati saya sudahpasti, sayadapat setiap saat dibawa dari sel saya dan dihukum mati
  • Saya akan menyanyikan lagu “magic moment” saat saya menghadapi regu tembak
  • Saya tidak akan memakai penutup mata, saya ingin melihat wajah para penembak saya
  • Kesedihan yang paling mendalam adalah saya tidak akan dapat melihat lagi cucu perempuan saya yang berumur 2 tahun yang lahir pada saat saya ditangkap.

Sebagai catatan, Lindsay Sandiford ditangkap di Bali pada tahun 2012 saat berusaha menyelundupkan heroin senilai US $2,4 juta yang disembunyikan di dasar kopernya ketika mendarat di Denpasar dalam penerbangannya dari Thailand. Pada tahun 2013 Sandy divonis dengan hukuman mati. Sandy memang mengakui perbuatannya tapi mengatakan dia melakukan hal tersebut karena kartel narkoba mengancam akan membunuh anak laki-lakinya.

Media juga menulis bahwa Sandi menganggap Andrew Chan yang telah dihukum mati merupakan pahlawan dalam kehidupannya. Mereka berdua menjadi teman dekat di penjara. Media juga mengulang kembali tulisannya bahwa warga Brasil yang sedang sakit jiwa juga ikut dieksekusi.

Diberitakan juga bahwa Sandiford saat ini menggalang dana atas kasusnya untuk mengajukan banding di pengadilan Indonesia setelah pemerintah Inggris menolak untuk membantu perlawanan hukum ini. Jika banding ini gagal, Sandiford masih memiliki ruang untuk meminta pengampunan dari Presiden.

Peran media memang sangat sentral dalam mengiring opini publik Australia, namun demikian sampai pada suatu titik nanti masyarakat tentunya akan menyadari apa yang sebenarnya terjadi.Solidaritas kemanusiaan memang perlu tapi solidaritas kemanusiaan yang membabi buta dapat menjadi bumerang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun