[caption id="attachment_379947" align="aligncenter" width="290" caption="Sumber : http://familiesintheloop.com"][/caption]
Minggu ini hampir semua media baik cetak maupun elektronik memuat kejadian tragis seorang cricketer (pemain cricket) nasional bernama Phillip Hughes yang meninggal akibat benturan bola cricket di kepalanya pada saat pertandingan. Bagaimana tidak, Hughes dianggap sebagai aset nasional Australia karena talenta yang dimilikinya. Dalam usianya yang sangat muda sebelum 20 tahun dia telah menjadi pemain andalan nasional dan telah mencetak 2 x century (100 runs).
Kejadian ini dianggap sebagai kejadian yang sangat langka sehingga berbagai event olahraga internasional melakukan hening cipta sebelum memulai pertandingan sebagai penghormatan kepada Hughes. Bahkan Perdana Menteri Australia dan pimpinan oposisi secara khusus memberikan tribut terhadap Huges dan mengibarkan bendera setengah tiang di Parlemen House di Canberra.
Walaupun sempat sekali ditayangkan di salah satu TV yang memperlihatkan kejadian bola mengenai kepalanya, setelah itu tidak ada satu media massa atau media elektronik pun yang menampilkan kejadian tersebut, apalagi memuat foto kondisi terakhir korban setelah kejadian maupun kondisi terakhir di rumah sakit sampai meninggalnya. Pemberitaan hanya menfokuskan pada rekan-rekan dan pihak keluarga Hughes yang besuk selama dirawat di rumah sakit dan pada saat diumumkan resmi meninggal dunia oleh pihak rumah sakit.
Demikian juga penemuan mayat bayi yang dikubur di pasir di pantai Sydney minggu ini, media massa tidak pernah menayangkan kondisi bayi pada saat ditemukan, hanya ditayangkan sebuah tenda dan police line dari jarah jauh di lokasi di mana bayi tersebut ditemukan.
Self censorship para insan media di Australia memang sangat luar biasa. Tidak pernah kita akan melihat gambar-gambar sadis seperti kondisi korban pembunuhan, korban kecelakaan, darah dll di media massa. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia di mana masih ada oknum insan media yang masih memiliki "hobi" menampilkan foto atau film kejadian sadis dan tidak layak dikonsumsi oleh umum.
Mungkin salah satu penyebab masih ditemuinya hal ini di Indonesia adalah upaya untuk meningkatkan rating pemberitaan dan di lain pihak tidak dipungkiri juga bahwa masih banyak pembaca awam masih sangat menggemari hal ini. Lihat saja kalau ada kejadian kecelakaan, penemuan mayat, hewan jadi-jadian dll di sana pasti banyak masyarakat yang bergerombol ingin melihatnya.
Pembaca di Indonesia memang sangat unik dan cenderung menyenangi berita-berita yang aneh. Masih ingat khan berita tentang "Kakek Bertelur" yang membuat heboh bahkan pihak insan medis pun turut heboh sampai memeriksa yang bersangkutan di rumah sakit dan telurnya pun diperiksa di rumah sakit hewan di Bogor.
Dari segi rating pemberitaan berita "kakek bertelur" dinilai sangat berhasil, akan tetapi ditinjau dari sisi pendidikan berita ini dinilai "gagal" karena telah menggiring pembaca ke arah" kebodohan". Dan yang lebih parah orang-orang "pintar' pun tergiring ke arah "kebodohan" dalam mengomentari pemberitaan ini.
Dalam pemberitaan walaupun foto atau film kejadian tersebut dikaburkan, sebagian besar photo masih tampak jelas, sehingga menambah penasaran yang membaca berita dan melihat fotonya.
Pada saat ditemukannya korban mutilasi warga Indonesia beberapa waktu yang lalu di Brisbane yang merupakan korban pembunuhan suaminya dan setelah itu suaminya pun bunuh diri, tidak pernah ada gambar kondisi terakhir korban pada saat ditemukan yang ada hanya foto korban ketika masih hidup.