Prediksi dan harapan jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 80 % di tahun 2045 mendatang dinilai oleh banyak kalangan terlalu ambisius karena hanya dalam waktu 20 tahun dan di tengah perekonomian dunia yang semakin tidak menentu, target tersebut akan sulit dicapai.
Kuatnya faktor eksternal ini dicerminkan dengan melemahnya nilai rupiah dalam beberapa hari ini yang nilai tukarnya sudah berada di atas Rp. 16.000.
Ambisi presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dari yang semula 5% untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia tampaknya akan mengalami tantangan dan hambatan yang luar biasa untuk mencapainya.
Tantangan ini sudah mulai tampak ketika data statistik menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia yang jumlahnya terbesar di kalangan negara negara (jumlahnya mencapai 47 juta orang atau setara dengan 17% dari total populasi Indonesia) di Asia Tenggara ini ditengarai mengalami penyusutan.
Penerapan PPN 12 % diperkirakan akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat dan kemungkinan akan memberikan tekanan yang lebih besar.
Angka ini mengalami penyusutan jika dibandingkan dengan angka di tahun 2019 yang mencapai 21% di tahun 2019 lalu.
Sebagai catatan kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok penduduk Indonesia yang pendapatan per bulannya mencapai kisaran Rp. 2 juta - 9,9 juta.Â
Angka penurunan kelas menengah ini ternyata diiringi dengan peningkatan jumlah kelompok masyarakat kelas bawah sebanyak 8 juta orang.
Angka angka ini tentu saja membuat harapan Indonesia mentransformasikan menjadi negara yang berpendapatan tinggi menimbulkan tanda tanya besar.
Faktor eksternal lainnya seperti perlambatan pertumbuhan di kawasan Asia dan juga penurunan populasi di kawasan ini tentunya tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan akan berpengaruh pada perekonomian Indonesia.