Secara naluriah dan alamiah tentunya setiap pasangan yang menikah berikeinginan memiliki anak utamanya di kawasan Asia. Namun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini telah terjadi pergeseran nilai di beberapa negara di kawasan ini yang dicerminkan oleh tingkat fertilitasnya  ayng semakin  menurun. Jika data ini diterjemahkan lebih jauh lagi akan memiliki makna semakin banyak perempuan yang tidak memiliki anak.
Data yang baru dikeluarkan oleh PBB menunjukkan bahwa tingkat kesuburan terendah di dunia terdapat di negara-negara Asia Timur yaitu  Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Jepang, dan Tiongkok. Korea Selatan tercatat sebagai negara yang penurunan fertilitasnya paling rendah di dunia dengan tingkat kesuburan sebesar 0.78 yang sekaligus tercatat sebagai satu satunya negara OECD yang tingkat fertilitasnnya di bawah 1.
Situasi yang hampir serupa terjadi di Jepang dimana jumlah bayi yang lahir di Jepang turun selama delapan tahun berturut-turut sekaligus mencatat  rekor terendah baru. Angka kelahiran ini  merupakan jumlah kelahiran terendah sejak Jepang tahun 1899. Tingkok yang sempat dikenal sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia sekalipun angka kelahirannya menunjukkan tren yang hanya mencapat 1.09 di tahun 2022 lalu.
Mengapa  tidak punya anak?
Pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa tingkat fertilitas ini menurun, mengapa semakin banyak wanita yang menikah memutuskan untuk tidak memiliki anak? Â Disamping masalah biaya hidup dan membesarkan anak yang semakin meroket di kota kota besar tentulah ada alasan lain yang membuat semakin banyak wanita yang enggan memiliki anak.
Salah satu alasan yang mengemukan adalah rasa kekhawatiran akan kehilangan waktu untuk dirinya dan pasangannya jika nanti memiliki anak utamanya bagi wanita yang sudah mapan karirnya. Â Tampaknya wejangan orang tua agar wanita segera menikah dan memiliki anak agar nantinya kelak jika sudah tua ada yang mengurusnya mulai tergerus.
Jika ditelisik lebih dalam lagi maka kita akan menemukan fakta  semakin banyak wanita yang berpendapat bahwa memiliki anak akan menjadi beban dan belenggu bagi dirinya maupun suaminya. Â
Di era kehidupan  moderen dimana terdapat kesetaraan antara suami dan istri dalam memutuskan memiliki anak, terdapat fenomena dimana  walaupun suami menginginkan anak, namun jika istrinya memutuskan tidak ingin memiliki anak maka sebagian besar pasangan ini  akan berakhir tidak memiliki anak.
Dalam siuasi yang lebih ekstrim, terjadi di kalangan pasangan suami istri muda utamanya di kota kota besar yang sama sama berkarir yang memutuskan menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak miliki  anak agar kebersamaan dan karirnya tidak terganggu. Dalam situasi seperti ini tentunya keberadaan anak tidak diperhitungkan sama sekali dalam perjalanan hidup mereka. Oleh sebab itu tidak  heran jika semakin banyak wanita yang berpendapat bahwa menjadi orang tua dan memiliki anak akan menyita waktunya untuk mengasuh dan membesarkan anak.
Salah satu faktor yang  menyebabkan semakin banyak wanita memutuskan tidak miliki anak adalah semakin banyaknya wanita karir memiliki kesempatan untuk menduduki posisi yang selama ini secara tradisional hanya  diduduki oleh  pria karena adanya kesetaraan jender.
Wanita yang memasuki dunia kerja ini biasanya memiliki jam kerja yang sangat panjang, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan karirnya sekaligus memiliki dan mengasuh anak. Sehingga secara teoritis memang tidak memungkinkan wanita karir mengasuh anaknya secara penuh sebagaimana tradisi yang terjadi di kawasan Asia dimana wanita tugasnya mengurus rumah tangga dan membesarkan anak.