Jika kita simak dengan cermat berbagai laporan ataupun berita utamanya TV dan juga berita tertulis di dunia maya maka kita akan dapat menemukan benang merah beberapa  bahasa baku yang terus menerus digunakan seolah menjadi bahasa standar jurnalis yang sangat menarik untuk dibahas.
Saya ambil 2 contoh dua  kata  yang paling banyak digunakan dalam pemberitaan yaitu kata "Korban Jiwa" dan  "mengancam".
Kita tentunya sudah sangat akrab mendengar laporan liputan yang dilakukan oleh jurnalis yang kira kita bunyinya sbb :
".....walaupun si jago merah melalap dan menghancurkan puluhan dan bahkan ratusan jiwa, namun tidak ada korban jiwa"
Gaya bahasa serupa juga digunakan untuk memberitakan bencana alam lainnya seperti  angin puting beliung, banjir dan bencana alam lainnya yang selalu melakukan "kausalitas" antara kerusakan yang ditimbulkan dengan korban jiwa.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana proses evolusi bahasa yang digunakan oleh jurnalis ini yang melakukan kausalitas antara bencana yang dihasilkan dengan korban jiwa?  Apakah kalau ada bencana harus selalu ada korban jiwa? Apakah kalau  ada korban jiwa beritanya menjadi lebih  berbobot?
Atau sebaliknya kalimat " ....walaupun ... tidak ada korban jiwa" Â Â merupakan ungkapan baku bahwa kalau tidak ada korban jiwa beritanya kurang seru?
Kata kedua yang juga sering digunakan adalah kata "mengancam " seperti yang sering kita dengar yang akrab dengan telinga kita seperti  berikut:
".....massa yang berjumlah ribuan akhrnya membubarkan diri, namun massa mengancam akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi  jika tuntutannya tidak dipenuhi".
Apakah kalau tidak ada kata "masa mengancam akan mengerahkan masa yang lebih besar lagi" menjadikan berita lebih berbobot? Â Dalam kenyataannya banyak unjuk rasa yang tidak melakukan untuk rasa lanjutannya.