Rupanya pemilu yang baru saja usai dan berlangsung  secara demokratis tidak dapat menyelesaikan carut marut dan kompleksitas politik di Thailand.
Pengumuman pengunduran diri dari dunia politik Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dari kalangan militer yang sudah memerintah selama 9 tahun dan menduduki kursinya dengan cara kudeta tadinya sempat membuat lega masyarakat Thailand untuk sementara.
Sudah menjadi rahasia umum demokrasi di Thailand tidak berjalan dengan baik karena adanya dominasi militer yang sangat kuat dalam dunia politik.
Jadi tidak heran jika  dalam perjalanannya hasil pemilu pun dapat digagalkan oleh pihak militer karena dalam undang-undang, militer memiliki jatah kursi khusus di parlemen tanpa harus diperebutkan di pemilu.
Dengan situasi seperti ini pemilu yang telah usai di bulan Mei lalu yang penuh kejutan inipun  kini hasilnya semakin tidak menentu.
Ketidakpastian ini karena munculnya kuda hitam dari partai reformis Thailand Move Forward Party yang secara mengejutkan memenangi pemilu namun suaranya masih tidak mencukupi untuk memenangi pemilihan perdana Menteri di parlemen.
Pita Limjaroenrat, pemimpin reformis Thailand memang memenangi pemilu namun saat ini akan memasuki babak baru yaitu babak ketidakpastian.
Kemenangan Pita Limjaroenrat ini memang tidak lepas dari kampanye pemilu gerakan reformasinya yang menolak aturan dan dominasi  militer konservatif yang telah diberlakukan sejak kudeta pada 2014.
Kemenangan ini tentunya mencerminkan bagaimana rakyat Thailand sudah jenuh dengan cengkeraman militer dalam dunia politik negara gajah putih ini yang membelenggu hak politik rakyat.
Aliansi Pita memang kini memiliki 312 suara, namun masih kurang 64 dari 376 suara yang dibutuhkan untuk terpilih sebagai perdana menteri.
Untuk terpilih sebagai perdana Menteri Pita membutuhkan dukungan dari anggota parlemen yang ditunjuk oleh pemimpin militer untuk mendapatkan suara mayoritas.
Disinilah letak kompleksitasnya karena memusuhi militer berarti dapat saja menutup kemungkinan dirinya terpilih menjadi Perdana Menteri Thailand.
Di samping itu kini muncul permasalahan baru terkait tuduhan kecurangan dalam pemilu lalu yang jika terbukti akan menyebabkan dirinya akan didiskualifikasi alias dianulir kemenangannya.
Saat ini pengadilan sedang mencermati dua pengaduan terhadap pemimpin Pita yang menjadi pimpinan Move Forward ini.
Salah satu tuduhannya adalah dirinya memegang saham di sebuah perusahaan media walaupun data menunjukkan bahwa perusahaan itu sudah tidak beroperasi selama 15 tahun.
Tuduhan lainnya yang lebih berat adalah rencana gerakan yang dipeloporinya untuk mengubah undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang telah memenjarakan ratusan kritikus monarki dianggap sebagai upaya untuk menjungkirbalikkan seluruh tatanan politik Thailand.
Undang-undang Lese-Majeste yang berusia puluhan tahun dapat menjebloskan orang ke penjara karena berbicara menentang monarki, ditegakkan secara ketat di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Prayuth.
Para kritikus menganggap bahwa undang-undang ini memang sengaja diterapkan oleh pimpinan militer Thailand ini untuk membungkam lawan politiknya.
Tuduhan demi tuduhan ini memang sudah masuk di ranah Mahkamah Konstitusi yang sedang menganalisa berbagai tuduhan ini  terhadap pribadi Pita.
Kalaupun nantinya Mahkamah Konstitusi menganggap dirinya terbukti atas  tuduhan tuduhan  yang serius ini  maka dirinya akan dapat dicopot statusnya sebagai anggota parlemen, namun menurut hukum yang berlaku di Thailand dirinya masih memungkinkan menjadi Perdana Menteri Thailand.
Pada pemilu lalu munculnya sosok Pita Limjaroenrat yang berusia 42 tahun lulusan Harvard dan mantan eksekutif perusahaan teknologi memang sangat fenomenal dan mempersona masyarakat Thailand utamanya kalangan generasi muda.
Faktor lain yang membuat krisis politik ini semakin kompleks adalah koalisi Pita Limjaroenrat dengan partai yang dipimpin Paetongtarn Shinawatra, putri mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra yang diasingkan dan digulingkan oleh pihak militer.
Kemunculan Pita Limjaroenrat tokoh muda penuh harapan ini ternyata tidak serta merta menyelesaikan carut marut perpolitikan Thailand karena gerakan demiliterisasi, demonopolisasi, serta desentralisasi  yang ditawarkannya ternyata belum dapat diterima sepenuhnya oleh sebagian faksi yang akan menjadi kerikil tajam bagi dirinya.
Thailand kini sedang memasuki babak baru ketidakpastian politik. Di tengah-tengah ketidakpastian politik seperti inilah biasanya militer akan mengambil alih pemerintahan dengan cara apapun termasuk melakukan kudeta  untuk memadamkan api demokrasi di negara gajah putih ini.
Jika hal ini terjadi maka Thailand kembali akan memasuki kembali masa kegelapan demokrasi yang tidak berujung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H