Ide untuk menggunakan lemak babi dan ternak lainnya seperti sapi dan ayam untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan memang memilikii dasar yang cukup kuat.
Jika kita buka lembaran sejarah maka kita akan menemukan  bahwa  sudah berabad-abad lamanya lemak hewan utamanya  lemak babi telah digunakan untuk membuat lilin, sabun dan keperluan lainnya seperti indusri makanan dan kosmetik.
Namun tren peningkatan penggunaan lemak babi  semakin tajam dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini di era biofuel  yang ramah lingkungan.
Sebagai contoh Eropa merupakan wilayah yang penggunaan lemak hewan sebagai bahan bakar meningkat paling pesat dalam 20 tahun terakhir dengan  peningkatannya mencapai 40 kali lipat.
Secara teknis lemak babi dan juga lemak hewan lain dapat menjadi andalan untuk menghasilkan bahan bakar yang ramah lingkungan termasuk bahan bakar pesawat jet.
Dari segi lingkungan bahan bakar yang terbuat  dari lemak babi ini lebih ramah lingkungan karena emisi karbon yang dihasilkannya  lebih rendah jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya termasuk dari minyak goreng bekas pakai dan minyak sawit.
Sehingga tidak heran jika pakar penerbangan memprediksi bahwa penggunaan bahan bakar dari lemak hewan ini akan meningkat  3 kali lipat dalam dunia penerbangan di tahun 2030 mendatang.
Tidak banyak diantara kita yang mengetahui bahwa salah satu sumber polusi dan emisi karbon terbesar adalah dunia penerbangan, sehingga penggunaan bio fuel  yang lebih ramah lingkungan memang merupakan suatu keharusan dalam upaya untuk mengurangi pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim.
Namun pertanyaan utama yang muncul adalah apakah cukup ternak babi dan ternak lainnya untuk memenuhi permintaan industri biofuel ini?
Pertanyaan ini memang cukup beralasan karena untuk bahan bakar pesawat dari Paris ke New York akan membutuhkan lemak 8.800 babi jika semua bahan bakar berasal dari sumber hewani.