Akhir pekan lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (International Crime Court, ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan Presiden Vladimir Putin setelah pengadilan ini menyimpulkan bahwa pemimpin Rusia  telah melakukan kejahatan perang sehubungan dengan penculikan dan deportasi ribuan anak Ukraina sejak invasi Rusia pada Februari 2022.
Berdasarkan pendapat dan kesimpulan ICC , Â Putin dan pejabat Rusia lainnya bertanggung jawab secara pribadi atas "pemukiman kembali" secara paksa anak-anak Ukraina.
Ibarat sedang menonton pertandingan bola sontak saja negara barat bertepuk tangan, memuji  dan mendukung sepenuhnya perintah penangkapan Putin ini.
Pengeluaran surat perintah penangkapan ini juga mencatat sejarah baru karena baru kai ini ICC memerintahkan penangkapan terhadap pemimpin negara yang yang memiliki perwakilan tetap di Dewan keamanan IPBB yaitu Rusia.
Ditinjau dari ranah kerja ICC Surat Perintah penangkapan tersebut tentunya sangat baik untuk menegakan keadilan, namun dibalik keputusan tersebut tersirat segudang kemunafikan.
Penuh Kemunafikan
Kemunafikan ICC ini tampak jelas ketika pengadilan yang cukup bergengsi ini menjadi mandul  menghadapi Amerika dan Israel yang memiliki rekam jejak sangat kental dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan akibat perang yang dikobarkannya.
Langkah yang dilakukan oleh ICC ini memang sangat mengejutkan dan sarat dengan kepentingan politik karena Rusia tidak mengakui keberadaan dan yurisdiksi ICC.
Di lain pihak dua negara pelaku tindakan kriminal dalam perang seperti Amerika dan Israel seolah olah menjadi pengecualian  yang sekaligus  mencerminkan kemandulan ICC
Rupanya bukti dan rekam jejak rindakan kriminal Amerika dan Israel dalam perang tidak cukup bagi ICC untuk memerintahkan penangkapan pimpinan Amerika dan Israel seperti halnya perintah yang dikeluarkannya untuk Putin.
Menurut ICC tindakan penculikan, penyiksaan dan kejahatan perang lainnya dalam perang yang dilakukan oleh presiden dan tentara Amerika dan Israel tidak pernah terjadi dan tidak cukup bukti.