Harga jahe per kg di supermarket mencapai USUD$ 45 atau setara dengan Rp. 460.000.
Harga ini tentunya masih bervariasi karena harga jahe yang dipanen di awal musim biasanya dijual seharga  AUD $40 atau setara dengan Rp. 410.000, sedangkan jahe yang dipanen di akhir musim di jual di supermarket seharga Rp.460.000.
Bahkan menurut laporan ini akibat kelangkaan jahe dalam kurun waktu 9 bulan ini harga satu kilogram jahe di salah satu negara bagi mencapai AUD$71 atau setara dengan Rp. 725.000 per kg.
Jadi tidak heran banyak kalangan yang berpendapat bahwa jahe merupakan emas bagi Australia namun tidak bagi petani.
Disparitas harga yang sangat mencolok ini mengundang pertanyaan besar para  petani Australia kenapa hal ini dapat terjadi.
Bahkan petani jahe merasa dirampok oleh pihak pedagang besar yang bermain di hilir karena meraup keuntungan yang sangat besar.
Petani jahe Australia memang memahami benar bahwa supermarket  mengeluarkan biaya  untuk transportasi dan juga cold chain nya,  namun tetap saja mereka berpendapat bahwa ketimpangan harga jahe yang luar biasa di level petani dan di level supermarket sangatlah besar dan tidak mencerminkan keadilan.
Pertani yang berusaha keras memeras keringat untuk menanam dan memelihara  jahe dan juga menanggung biaya buruh hanya mendapatkan porsi harga yang sangat kecil.
Ditengah tengah ketidak adilan ini memang muncul harapan intervensi dari pemerintah agar tidak terjadi liberalisasi sepenuhnya untuk produksi jahe ini.
Namun pada kenyataannya pihak pemerintah yang mengatur terjaminnya kompetisi yang sehat ternyata tidak memiliki kewenangan dan aturan  untuk melakukan intervensi mengatur harga eceran dan harga grosir.