Dalam 3 hari ini pemberitaan  di media massa dinominasi oleh berita kecelakaan lalu lintas  dijalan tol yang merenggut jiwa yang tentunya membuat prihatin kita semua.
Kejadian pertama  adalah kecelakaan yang menimpa rombongan guru besar dari universitas ternama di Indonesia yang merenggut korban jiwa seorang guru besar yang baru saja sebulan dilantik menjadi dekan dan melukai beberapa orang penumpang termasuk guru besar lainnya yang berada dalam  satu mobil.
Selang sehari kemudian kecelakaan di jalan tol menimpa sepasang artis yang juga merenggut korban jiwa.
Ada hal yang sangat menarik terkait dengan pemberitaan di media massa. Â Kejadian pertama pemberitaannya sangat minim bahkan nyaris "tidak terdengar" kecuali pemberitaan yang ada di kalangan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Sebaliknya pemberitaan kedua sangat masif sekali dan menjadi trending topic beberapa hari di berbagai media dan juga dibahas dimana mana.
Pemberitaan kejadian kedua ini sedemikian  masif dan detailnya menghiasi media masa mulai dari analisa penyebab kecelakaan, posisi mobil sebelum dan sesudah kecelakan, perkembangan  kondisi supir, kondisi kendaraan, pendapat dan kesan kerabat, kondisi rumah duka sampai dengan rencana pengamanan acara pemakaman dll nya.
Pertanyaan yang sangat  mengelitik, mengapa terjadi ketimpangan yang luar biasa sekali padahal isi berita nya hampir sama yaitu musibah kecelakaan di jalan tol yang merenggut jiwa ? Namun bedanya hanya berita yang satu menyangkut akademisi yaitu  guru besar sedangkan yang satunya lagi menyangkut artis.
Sebagai informasi disamping perguruan tinggi tersebut kehilangan guru besar yang baru sebulan dilantik, juga kehilangan 2 guru besar lainnya yang meninggal karena usia. Jadi dalam sehari perguruan tinggi ternama tersebut kehilangan 3 guru besar sekaligus.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, kehilangan guru besar bagi suatu perguruan tinggi merupakan kehilangan yang sangat siknifikan karena merupakan aset yang sangat berharga tidak saja bagi perguruan tinggi yang bersangkutan namun juga bagi Indonesia.
Untuk mencapai jabatan Guru Besar perjalanan panjang pendidikan harus ditempuh, mulai dari SD selama 6 tahun, SMP selama 3 tahun, SMA selama 3 tahun, sarjana selama minimal 4 tahun, master selama minimal 2 tahun dan doktor selama minimal 3 Â tahun.
Jadi dapat kita bayangkan betapa panjangnya pendidikan yang harus ditempuh sebagai langkah awal untuk meraih jabatan guru besar. Â Cukupkah sampai disni?
Jawabannya tidak !, karena setelah  selesai menempuh pendidikan S3 yang tentunya ditempuh dengan susah payah termasuk dengan berbagai pengorbanan dan air mata, seorang doktor harus meniti karirnya dan menorehkan prestasi lagi minimal 10 tahun lagi untuk mencapai jabatan yang tertinggi yaitu guru besar.
Seorang guru besar dengan segala lika liku perjalanan karirnya ini paling tidak pernah membimbing dan meluluskan puluhan bahkan ratusan mahasiswa S1, puluhan mahasiswa S2 dan  juga beberapa atau bahkan puluhan mahasiswa S3.
Ibarat multi level marketing, benih yang ditanam oleh seorang dosen dan guru besar ini tumbuh dengan subur menjadi sumber daya manusia yang sangat diperlukan  membangun bangsa ini.
Jadi bisa kita bayangkan para lulusan yang pernah dibimbing guru besar tersebut berkembang dengan subur di masyarakat menduduki jabatan dan posisi penting di masyarakat dan selanjutnya membimbing dan memimpin orang lain untuk menjadi sumber daya yang handal.
Jadi tidak heran banyak guru besar dalam karirnya berhasil membuat critical mass SDM handal yang diperlukan oleh bangsa ini.
Sangat mengherankan sekali jika kepergian mendadak seorang guru besar karena musibah kecelakaan ini luput dari perhatian media masa.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Satu hal yang jelas karena ketidak mengertian insan media dan juga masyarakat umum mengakibatkan  terjadi kapitalisme pemberitaan dan kapitalisme media.
Artinya berita yang memiliki nilai jual tinggi lah yang akhirnya mendominasi jagad maya dan media massa, walaupun dalam kasus yang diuraikan di atas konten beritanya hampir sama.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa kapitalisme pemberitaan dan media  ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena media akan cenderung memberitakan berita yang memiliki nilai jual tinggi.
Namun jika dianalisis lebih dalam sebenarnya media memiliki kemampuan untuk memoles kedua berita tersebut dengan bobot yang sama sehingga kedua berita tersebut menjadi berita yang menarik sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat.
Kapitalisme media memang terkadang menyakitkan karena berita berita yang berbobot terkait kepentingan orang banyak dan kemaslahatan  ummat akhir nya harus tersingkir dan dianggap angin lalu tersapu  berita yang memiliki nilai jual  lebih tinggi.
Semoga kapitalisme pemberitaan dan media ini menjadi renungan kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H