Jadi dapat kita bayangkan betapa panjangnya pendidikan yang harus ditempuh sebagai langkah awal untuk meraih jabatan guru besar. Â Cukupkah sampai disni?
Jawabannya tidak !, karena setelah  selesai menempuh pendidikan S3 yang tentunya ditempuh dengan susah payah termasuk dengan berbagai pengorbanan dan air mata, seorang doktor harus meniti karirnya dan menorehkan prestasi lagi minimal 10 tahun lagi untuk mencapai jabatan yang tertinggi yaitu guru besar.
Seorang guru besar dengan segala lika liku perjalanan karirnya ini paling tidak pernah membimbing dan meluluskan puluhan bahkan ratusan mahasiswa S1, puluhan mahasiswa S2 dan  juga beberapa atau bahkan puluhan mahasiswa S3.
Ibarat multi level marketing, benih yang ditanam oleh seorang dosen dan guru besar ini tumbuh dengan subur menjadi sumber daya manusia yang sangat diperlukan  membangun bangsa ini.
Jadi bisa kita bayangkan para lulusan yang pernah dibimbing guru besar tersebut berkembang dengan subur di masyarakat menduduki jabatan dan posisi penting di masyarakat dan selanjutnya membimbing dan memimpin orang lain untuk menjadi sumber daya yang handal.
Jadi tidak heran banyak guru besar dalam karirnya berhasil membuat critical mass SDM handal yang diperlukan oleh bangsa ini.
Sangat mengherankan sekali jika kepergian mendadak seorang guru besar karena musibah kecelakaan ini luput dari perhatian media masa.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Satu hal yang jelas karena ketidak mengertian insan media dan juga masyarakat umum mengakibatkan  terjadi kapitalisme pemberitaan dan kapitalisme media.
Artinya berita yang memiliki nilai jual tinggi lah yang akhirnya mendominasi jagad maya dan media massa, walaupun dalam kasus yang diuraikan di atas konten beritanya hampir sama.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa kapitalisme pemberitaan dan media  ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena media akan cenderung memberitakan berita yang memiliki nilai jual tinggi.