Salah satu hasil dari pertemuan puncak  iklim dunia COP 26 yang saat ini sedang berlangsung di Glasgow adalah mengakhiri deforestasi pada tahun 2030 mendatang.
Janji 100 pimpinan dunia ini memang cukup melegakan, namun masih timbul tanda tanya besar apakah janji ini akan menjadi kenyataan di tengah tengah tren memburuknya iklim dunia saat  ini ?
Keraguan berbagai kalangan utamanya pelestari lingkungan akan janji ini memang sangat beralasan karena 2 negara yang masuk kelompok negara  penghasil emisi gas rumah kaca terbesar yaitu Tiongkok dan Rusia tidak menghadiri acara ini.
Hal yang sama terjadi pada pertemuan puncak iklim dunia sebelumnya.  Ketika itu hampir semua negara di dunia berkomitmen untuk menjaga laju kenaikan suhu bumi pada level 1,5oC, Amerika yang waktu itu masih di bawah kepemimpinan Trump  bukan saja tidak hadir, namun justru keluar dari konsorsium iklim dunia ini.
Komitmen terhadap pengurangan dampak perubahan iklim ini memang lebih mudah diucapkan dibandingkan dengan dilakukan karena terkait erat dengan perekonomian suatu negara.
Walaupun tren penggunaan energi bersih sudah mulai nampak namun  sampai saat ini dunia masih saja tergantung pada energi fosil perekonomiannya.
Kita tentunya dapat membayangkan jika misalnya Tiongkok atau negara lainnya yang sebagian besar mengandalkan sumber energinya dari batu bara tentunya tidak semudah seperti membalikkan tangan untuk mengubah sumber energinya.
Jika kita tengok ke belakang maka kita akan mendapat kenyataan bahwa bukan hanya sekali ini saja para pimpinan dunia berjanji untuk menyelamatkan bumi ini.
Kita ambil contoh ketika di tahun 2014 lalu dunia juga pernah berjanji untuk mengurangi laju deforestasi sampai 50%.
Janji ini tertuang dalam deklarasi New York yang pada saat itu tercatat sebanyak 40 negara di dunia menandatanganinya,