Konferensi iklim dunia COP 26 yang sedang berlangsung di Glasgow, Skotlandia saat ini dinilai sangat strategis sekaligus sebagai ajang penentuan apakah negara di dunia memang memiliki komitmen yang kuat dalam menyelamatkan bumi ini.
Perubahan iklim tidak dapat dibantah lagi telah menimbulkan berbagai bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, peningkatan gas rumah kaca, berlubangnya ozon, dll yang telah banyak memakan korban jiwa dan berdampak besar pada degradasi lingkungan.
Komitmen dunia terhadap pengurangan dampak pemanasan global ini sempat mencapai titik nadir ketika Amerika sebagai salah satu penghasil pencemar udara dan lingkungan terbesar menarik diri dari komitmennya untuk mengurangi dampak pemasanan global ini di era Presiden Trump.
Selama ini fokus perhatian dunia untuk mengurangi dampak pemanasan global tersebut pada upaya penyelamatan hutan utamanya hutan tropis.
Memulihkan fungsi hutan diharapkan menjadi cara yang jitu untuk menyerap karbondioksida dan mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin memburuk.
Guyuran uang dalam jumlah yang sangat besar dijanjikan negara maju untuk program pelestarian hutan yang umumnya berada di banyak negara berkembang termasuk Indonesia.
Namun tidak banyak yang berpikir bahwa disamping hutan tropis, lahan basah atau yang biasa dikenal juga dengan rawa yang ada di berbagai negara juga wajib digarap karena memberikan dampak yang siknifikan pada perubahan iklim.
Peran Rawa yang Strategis
Harapan bahwa hutan merupakan salah satu lingkungan alami yang berfungsi menyimpan karbon tampaknya perlu dipikirkan kembali, karena disamping hutan juga ada hamparan rawa yang sangat luas yang juga memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai penyimpan karbon.