Ada dua kasus yang menarik untuk disandingkan walaupun terjadi di dua negara yang berbeda, yaitu kasus beras premium yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu yang kasusnya masih dalam penanganan pihak berwenang dan kasus Kobe Steel yang  saat ini tidak hanya menghebohkan Jepang saja namun juga dunia.
Ketika kasus beras premium pertama kali diungkap oleh pihak berwenang dalam hitungan hari saja, pihak terkait memberikan jumpa press oleh pihak perusahaan dan cenderung menyanggah temuan yang dilakukan oleh pihak berwenang ini. Namun setelah pihak berwenang menetapkan beberapa tersangka termasuk petinggi perusahaan yang terlibat kasus beras premium ini dan kemungkinan akan menetapkan tersangka baru, akhirnya komisaris perusahaan ini meminta maaf.
Sebaliknya dalam kasus Kobe Steel yang saat ini menjadi berita hangat dunia yang menyangkut "manipulasi" spesifikasi kualitas baja. Hal pertama yang dilakukan oleh pihak Kobe Steel adalah menurunkan langsung pimpinan tertinggi perusahaan untuk menjelaskan permasalahan yang mendera perusahaan tersebut.
Sebelum menjelaskan permasalahan yang terjadi hal pertama yang dilakukan oleh "big boss" perusahaan ini adalah langsung meminta maaf dan berjanji akan menyelesaikan kasus yang menimpa perusahaannya dengan transparan  dan tuntas. Permintaan maaf ini diekspresikan dengan tindakan khas Jepang yaitu membungkuk sebagai ekspresi penyesalan yang mendalam.
Kedua kasus ini memiliki kesamaan yaitu menyangkut hidup orang banyak dan merugikan serta berdampak luas. Pada kasus beras premium menyangkut banyak orang yang karena ketidaktahuannya terkena dampak kasus ini.
Pada kasus Kobe steel yang diperkirakan terjadi sudah puluhan tahun menyangkut lebih dari 500 perusahaan baik otomotif, militer maupun otomatif tingkat tinggi yaitu industri pesawat terbang. Pemalsuan spesifikasi produksi baja perusahaan ini dikhawatirkan menyangkut keselamatan orang banyak.
Menteri pertahanan Jepang langsung turun tangan dalam kasus ini karena menyangkut keamanan peralatan militer yang kemungkinan terpengaruh karena adanya kasus ini.
Sangat sulit dihindari kesan yang berkembang bahwa pada kasus pertama permintaan maaf baru muncul setelah adanya proses hukum, sedangkan kasus kedua permintaan maaf didasari atas rasa "malu" atas terjadinya kasus yang melanda perusahaannya.
Saya masih ingat ketika seorang ibu di Australia mengungkapkan bahwa dirinya lebih khawatir dan malu jika anaknya yang masih ada di primary school tidak dapat antri dengan baik jika dibandingkan dengan tidak bisa menyelesaikan soal matematika.
Maaf dan malu memang sangat terkait dengan budaya yang mengakar di dalam suatu masyarakat. Sayangnya budaya meminta maaf dan malu ini tampaknya sudah mulai tergerus dengan pekembangan zaman.