Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ikhlas Memasuki Masa Pensiun

30 September 2017   12:07 Diperbarui: 1 Oktober 2017   11:12 4967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pensiun atau yang dikenal juga dengan purnabakti merupakan suatu keniscayaan.  Mengapa demikian?

Pensiun merupakan  masa yang dimasuki seseorang setelah sekian lama bekerja.  Batas pensiun ini bermacam macam tergantung apakah seseorang bekerja di sektor swasta atau di sektor pemerintah.  Batas usia pensiun ini ada umumnya 56 dan 58 tahun.  Namun untuk profesi tertentu seperti dosen dengan batas kepangkatan dan pendidikan tertentu batasnya dapat  60 tahun, bahkan seorang guru besar batas usia pensiun nya sampai 70 tahun.

Masa pensiun ini memang harus dilalui oleh seseorang karena secara alamiah dan biologis kemampuan tubuh dan daya pikir orang menurun dengan semakin bertambahnya usia.  Disamping itu tentunya batas usia pensiun ini dimaksudkan untuk memberi  kesempatan kepada generasi berikutnya untuk meneruskan karir dan pekerjaannya.

Hal yang menarik untuk disimak adalah fenomena di mana seseorang merasa bahwa dirinya belum pantas pensiun.  Orang ini masih merasakan bahwa dia masih dapat mencapai prestasi puncak dan terus melakukan pekerjaannya. Ketidak relaan memasuki masa pensiun ini banyak terjadi pada kelompok terutama pada kelompok yang sudah mencapai dan sedang memegang posisi tertentu.

Jika kita simak lebih lanjut berbagai alasan dikemukakan oleh kelompok ini seperti misalnya masih mampu mencapai prestasi puncak,  masih memerlukan pendapatan karena anak anaknya masih belum mandiri, belum ada penggantinya yang pantas dll

Berbagai alasan ini memang cukup beralasan, namun sayangnya alasan ini berasal dari orang yang bersangkutan.  Mungkin saja dari pandangan orang ditempat kerja dan sekitarnya justru bertolak belakang dan mendoakan semoga yang bersangkutan cepat pensiun, karena mungkin dalam memegang jabatannya banyak menyusahkan orang.

Fenomena ketidak relaan pensiun ini juga tercermin kecenderungan di kalangan pemegang jabatan di masa menjelang pensiunnya dengan berbagai cara berusaha untuk mendapatkan gelar akademik seperti master dan doktor agar kelak nantinya setelah pensiun dia dapat meneruskan berkerja sebagai dosen yang masa kerjanya lebih lama ataupun mengerjakan pekerjaan lain yang dianggapnya akan tetap menjaga martabatnya.

Fenomena ini cukup mengkhawatirkan dan dapat merusak tatanan pendidikan karena dunia pendidikan di perguruan tinggi  bukanlah dunia yang alternatif sebagai penampungan pensiunan dari institusi lain.  Dunia pendidikan ini memerlukan kualitas dan pembangunan karir yang sangat jelas dan berjenjang.

Artinya untuk mencapai jabatan guru besar seorang dosen harus pertama memiliki gelar doktor dengan cara yang sah dan benar serta legal.  Setelah mendapatkan gelat doktor seorang dosen harus meniti karirnya melalui berbagai pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.  Atas dasar  inilah karirnya secara perlahan akan menanjak  sampai mencapai jabatan guru besar.

Perlu diingat juga bahwa tidak semua orang yang bergelar doktor pada akhir akhirnya akan dapat mencapai gelar guru besar.  Oleh sebab itu seseorang yang sudah meraih jabatan guru besar dianggap telah mencapai puncak karirnya alias mumpuni  dan selanjutnya diberi kesempatan untuk mendidik dan menularkan ilmunya sampai batas usia 70 tahun.  Bahkan setelah mencapai usia pensiunnya di usia 70 tahun seorang guru besar masih diberi kesempatan untuk menjadi guru besar emeritus sebagai suatu bentuk penghormatan, walaupun tidak digaji.

Kembali kepada batas usia pensiun, batas usia ini memang sudah diteliti dan dimaksudkan memberi kesempatan bagi seseorang untuk mulai melambankan kegiatannya karena secara biologis dan fisiologis sudah mulai masuk batasan usia tua yang memerlukan lebih banyak istirahat dan mengurangi kegiatan fisiknya.

Saya pernah bertemu dan berdiskusi dengan seorang guru besar ternama dari salah perguruan tinggi ternama dunia yang baru saja memasuki masa pensiunnya.  Dari hasil diskusi ini tercermin tidak ada keinginan untuk memperpanjang usia pensiunnya karena dia menganggap bahwa pesiun merupakan haknya untuk beristirahat.

Situasinya memang berbeda dan sudah dipastikan bahwa sebagai seorang pensiunan dia memiliki tabungan dan pendapatan dari pensiunnya yang layak dan dapat menjamin dia menghabiskan hari tuanya dengan tenang.

Hal menarik yang terungkap dari pembicaraan ini adalah masa adaptasi yang tidak mudah dalam arti perubahan dari aktivitas keseharian yang sangat tinggi  di masa aktifnya menjadi lebih lamban di masa pensiunnya. 

Jika dimasa aktifnya dia bekerja dikejar kejar tugas dan target yang harus dicapainya, maka di masa pensiun ini dia kebingungan mengatur jadwalnya sendiri karena banyaknya waktu kosong yang dimilikinya sekarang dimasa pensiunnya. Namun belajar dari berbagai kasus, tampaknya setelah berhasil melalui masa transisi yang tidak mudah ini, biasanya orang akan terbiasa dan menikmati masa pensiunnya.

Di Indonesia memasuki masa pensiun dengan kondisi tabungan yang tidak cukup dan uang pensiunan yang menurun drastis, seringkali membuat seseorang menjadi stres.  Saat memegang jabatan seseorang mungkin banyak dihormati orang baik dengan cara terpaksa ataupun memang benar benar di layak dihormati.  Namun setelah pensiun dia merasakan banyak orang yang tadinya perduli kini tidak perduli lagi.

Dari segi penghasilan pun memang membuat banyak orang mengalami stress, karena penurunan pendapatannya anjok dengan drastis.  Dapat kita bayangkan seorang pejabat  eselon 1 dan 2  dengan gaji dan berbagai tunjangan dalam sebulan memiliki pendapatan mencapai  40 juta misalnya, setelah pensiun penghasilannya hanya 80% dari gaji pokoknya, yaitu sekitar 4 jutaan bagi pensiunan yang sudah mencapai golongan IV.

Ketidak relaan memasuki masa pensiun dengan berbagai alasan yang telah diunggap di atas, sebenarnya dapat diatasi dengan cara mempersiapkannya dengan baik secara bertahap sebelum memasuki masa pensiun.

Artinya sejak mulai hari pertama bekerja sudah harus ditanamkan bahwa suatu saat nanti kita  akan memasuki masa pensiun.  Juga harus ditanamkan bahwa jika sudah pensiun maka penghasilannya akan menurun dengan drastis.

Dengan cara seperti ini secara perlahan kita dapat menyiapkan mental kita bahwa suatu saat nanti kita tidak lagi dihormati orang sebagaimana jika kita masih menjabat.  Kekhawatiran ini dapat diubah menjadi energi positif dengan merubah pola pikir bahwa sebelum pensiun dia harus membina generasi berikutnya, sehingga setelah pensiun dia masih bisa menikmati buah prestasi bawahannya yang dulunya dibinanya dan tentunya akan  menjadi kebanggaan tersendiri di masa pensiunnya.

Penurunan pendapatan setelah pensiun merupakan suatu keniscayaan.  Oleh sebab itu hal ini memang harus dipersiapkan dengan baik baik melalui menabung atau menginvestasikan pendapatannya bagi pendidikan anak anaknya.

Melalui cara ini paling tidak di masa pensiunnya tidak lagi terbebani oleh biaya yang harus dikeluakan untuk kebutuhan anak anaknya, karena anak anaknya sudah dapat mandiri.  Syukur syukur kelak suatu saat nanti anak anaknya akan dapat menunjang orang tuanya yang menjalani masa pensiunnya.

Hal lain yang perlu juga dipersiapkan adalah penurunan kesehatan dimasa pensiun yang terkadang membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit.

Memasuki masa pensiun merupakan suatu keniscayaan, oleh sebab itu ketidak relaan memasuki masa pensiun  dapat  berujung dengan bertambahnya beban psikologi yang justru akan membuat kondisi fisik dan kesehatan seseorang menurun secara drastis.  Oleh sebab itu,  keihklasan memasuki masa pensiun ini paling tidak membantu kita dapat lebih tenang secara batiniah.

Masa pensiun bukanlah akhir dari segala galanya, justru sebaliknya merupakan masa yang membuat kita diberikan kesempatan untuk dapat lebih banyak beribadah untuk mempersiapkan kehidupan kita di alam lain yang lebih kekal yang tentunya tidak mengenal pensiun lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun