Ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk menurunkan quota impor sapi dari Australia yang seharusnya pada periode impor ini mencapai 250 ribu ekor sapi hidup hanya menjadi 50 ribu saja, para eksportir dan asosiasi peternak sapi di Australia memang terkejut. Sebab langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia ini sungguh di luar dugaan karena melihat pola impor sapi dari Australia selama 20 tahuan terakhir ini, biasanya justru Indonesia meningkatkan quotanya untuk menjaga supply daging dan stabilitas harga dari selama bulan puasa dan lebaran.
Ketergantungan impor sapi hidup Indonesia dari Australia memang sudah sangat kronis mengingat jumlah sapi yang diimpor dari Australia jumlahnya sangat banyak mencapai rata-rata 800 ribu ekor per tahunnya. Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang mengalir ke Australia. Jika kita hitung harga sapi $3 per kg bobot hidup, maka seekor sapi dengan berat kira-kira 250 kg harga per ekor sapi hidupnya sekitar $7.500 atau setara dengan Rp7,5 juta. Jika dihitung dengan ongkos transport dan lain-lainnya katakanlah satu ekor sapi impor dari Australia Rp 8 juta. Jadi uang yang digelontorkan untuk membeli sapi dari Australia dalam setahunnya minimal Rp. 6.400.000.000.000, jumlah yang sangat fantastis bukan? Dan tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pihak di dalam negeri yang mengeruk rejeki dari kecanduan mengimpor sapi dari Australia ini.
Memang sangat sulit untuk mengatakan bahwa pengurangan quota impor ini tidak terkait dengan situasi politik kedua negara yang saat ini kurang baik dan juga upaya pemerintah untuk mencanangkan program kemandirian pangan. Keinginan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor sapi ini harus dihargai, sebab dapat dibayangkan uang yang digelontorkan untuk impor sapi itu digunakan untuk membangun peternakan sapi nasional dan mensejahterakan peternak kita sendiri pastikah akan sangat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan peternak lokal kita.
Banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan pemerintah untuk menindaklanjuti pengurangan quota impor sapi dari Australia ini. Biaya transportasi dan pungli di jalan sepanjang jarur pengangkutan sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta dan Jawa Barat merupakan salah satu hal yang diprioritaskan.
Banyak orang terperanjat ketika mendengar ucapan Menteri Pertanian kita yang mengatakan bahwa biaya tranportasi angkut sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta dan sekitarnya lebih mahal dari biaya angkut sapi dari Australia ke Jakarta. Kenyataannya memang demikian karena, pertama pengangkutan sapi dari Australia dilakukan secara masal dengan menggunakan kapal besar. Kedua di sepanjang perjalanan tidak ada pungli.
Dari hasil penelitian terkait rantai pasokan sapi hidup dan daging sapi ini ditemukan lebih dari 25 titik pungli di sepanjang jalur lintas propinsi ini. Jadi bisa dibayangkan jika sapi diangkut dengan truk dari Indonesia Timur Ke Jakarta dengan kapasitas angkut yang sangat sedikit per truknya ditambah dengan pungutan liar disepenjang perjalanan, maka akan membuat harga daging sapi lokal lebih mahal dari daging sapi import dari Australia. Jadi pemberantasan pungli dan transportasi massal sapi perlu diprioritaskan.
Oleh sebab itu, ketika Australia mengambil langkah untuk melakukan upaya untuk “pengalihkan produksi sapi yang tidak lagi terserap Indonesia ke China menjadi pertanyaan besar apakah China memang benar-benar menginginkan menyerap produksi sapi dari Australia yang dikatakan oleh Menteri Pertanian Australia jumlahnya sangat fantastis yaitu berpotensi mencapai 1 juta ekor per tahunnya. Free Trade Agreement yang telah ditandatangani antara Australia dan China memang menungkinkan untuk melakukan kerjasaam tersebut, namun yang namanya free trade tentunya Australia juga harus menerima produksi pertanian China yang juga sangat massif.
Langkah menteri pertanian Australia yang segera mengumumkan hal ini untuk menunjukkan bahwa Australia dapat dengan mudah mengalihkan produksi sapinya lebih kepada “gertakan” kepada Indonesia yang menurunkan quota impor sapinya dari Australia. Free trade Agreement antara China dan Australia mulai mengundang kontroversi di dalam negeri Australia karena dengan perjanjian tersebut banyak pihak yang menyebut bahwa tenaga kerja Australia akan kehilangan pekerjaanya karena dengan perjanjian ini memungkinkan China untuk membangun usaha dan pabrik di Australia dengan tenaga kerjanya sendiri.