Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money

Mananti Keberpihakan dan Kebijakan Nasional Menuju Era Kedaulatan Pangan

20 Oktober 2014   11:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:25 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Masih teringiang-ngiang dalam ingatan kita ketika paling tidak ada tiga pandangan “irasional” untuk memecahkan permasalahan kekurangan energi dan pangan. Pertama ide “blue energy”, dimana pada saat itu muncul ide dari elite nasional bahwa untuk mengatasi kekuarangan BBM dapat diatasi dengan teknik mengolah air menjadi bahan bakar motor (BBM).Ide ini memangdapat saja terwujud melalui investasi yang besar dan juga perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi rasio input output nya.Pada intinya dalam jangka pendek pemikiran blue energy untuk memecahkan krisis BBM nasioanal dapat digolongkan sebagai pandangan irasional, apalagi ada pandangan pada saat itu dengan teknologi ini kendaraan bermotor langsung dapat diisi dengan air untuk menggantikan bahan bakar dari fosil.

Pandangan Kedua dan ketiga saling berhubungan, yaitu kehebohan munculnya ide yang dinamakan “Pupuk Ajaib Saputra” dan padi yang dapat dipanen berkali-kali. Pandangan ini mencerminkan kepanikan dan kekalutan berpikir untuk mencarijalan pintas dalam mencapai kemandirian pangan. Hal ini diperparah lagi dengan dipercayainya “teknologi ajaib” ini oleh para elit dan juga banyak orang.

Bagi ilmuwan dan praktisi yang bergerak di bidang pertanian pastilah mengerti hal ini sebagai impian di siang bolong. Bagaimana mungkin suatu pupuk ajaib yang bahan dasarnya air dan sedikit air laut dapat meningkatkan produksi tanaman apa saja termasuk padi sampai 5-8 x lipat dari produksi biasanya. Jadi tinggal ditambahkan begitu saja pupuk ajaib ini dan simsalabim....... maka secara ajaib tanaman akan berproduksi melimpah bak dongeng di cerita seribu satu malam.

Demikian juga pemikiran “liar” dimana dikatakan ada teknologi baru dan jenis padi yang dapat dipanen 3-4 x tanpa menanamnya kembali dengan produksi yang hampir sama.Jadi mudahnya setelah panen tanaman padinya dibabat, kemudian tumbuh lagi dan berproduksi lagi, terus dibabat lagi, tumbuh dan berproduksi lagi dst.

Ketika contoh ini sungguh menggambarkan tingginya irasionalis di kalangan elit pengambil keputusan untuk mengatasi carut marutnya kebijakan nasional di bidang energi dan pangan.

Ketika diluncurkannya ide swasembada daging dapat dicapai tahun 2010 semua orang sangat bergairah dan kagum.Kalau hal ini dapat dicapai tentunya akan menggerakkan dunia peternakan dan sekaligus menghemat devisa nasioanal akibat besarnya impor sapi hidup dan daging.Sayangnya peluncuran program swasembada daging 2010 tidak disertai dengan kejujuran   mengemukakan fakta yang sebenarnya bahwa tingkat konsumsi daging nasional jauh lebih tinggi dari tingkat produksi daging nasional, sehingga tidak mungkin garis laju konsumsi dan garis laju produksi daging bertemu.Kenyataan yang sesungguhnya kedua garis ini saling menjauh, artinya program swasembada daging 2010 lebih ditujukan untuk menarik perhatian dan lebih kepada politik anggaran agar program tersebut menjadi perhatian nasional dan mendapat anggaran yang lebih.Dalam kuruan waktu yang cukup lama kita masih harus mengimpor daging karena keterbatasan infrastuktur peternakan sapi, populasi sapi, ketersediaan pakan, keterbatasan lahan dll. Ketika menjelang tahun 2010 dan swasembada tidak terjadi, maka terjadilah pergeseran target waktu swasembada dengan  mulai sibuk mencari  alasan yang menyebabkan swasembada daging tidak tercapai.

Keduaulatan pangan (termasuk protein hewani di dalamnya) merupakan hajat orang banyak dan mau tidak mau, suka atau tidak suka harus menjadi fokus utama pemerintahan baru.Semua orang berpendapat bahwa kedautan dan kemandirian pangan sangat penting, akan tetapi ketika sampai pada kebijakan nasional dan alokasi anggaran untuk mencapai hal tersebut sering kali terlihat ketidak seriusan upaya untuk mencapainya.

Untuk mencapai kedaulatan pengan diperlukan upaya yang sangat serius dan kerja keras, sayangnya pada masa lalu jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan pangan (beras, padi, jagung, kedele, gandum dll) seringkali ditempuh sebagai jalan pintas yang mudah dengan cara mengimport segara sesuatunya apabila kita kekurangan produk tersebut. Kita memang sudah terbiasa dengan budaya mudah dan instant untuk mencapai segala sesuatu, akan tetapi kita harus sadar suatu saat nanti walaupun kita punya uang dan kemampuan membeli akan ada saatnya nanti negara lain tidak mau menjual karena ingin menjaga cadangan pangan nasionalnya.Bagaimana mungkin negara kita yang dikelilingi oleh lautan dengan luasan yang sangat mencengangkan, kita masih saja mengimpor garam untuk kebutuhan nasional?

Kedaulatan pangan dapat dicapai apabila diikuti oleh rasionalitas, keseriusan dan upaya keras dari semua insan yang bergerak dalam bidang pertanian, peternakan dan perikanan. Kedaulatan pengan tidak akan bisa dicapai dengan pemikiran dan ide liar seperti yang digambarkan di atas.Kenikmatan oknum tertentu yang gemar mengimpor sebagai jalan pintas mengatasi permasalahan pangan nasional harus segera diakhiri. Mari kita capai era kemandirian dan kedaultan pangan sebagai harga diri bangsa dengan kerja keras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun