Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rame-rame Menganugerahkan Gelar Doktor Humoris Causa

15 Desember 2014   13:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:17 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418618090976296852

[caption id="attachment_382718" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Soka, Jepang di Istana Negara, Selasa (14/10/2014). (Kompas.com/SABRINA ASRIL)"][/caption]

Pada salah satu iklan produk di media elektronik, tampak sang pemilik perusahaan mempromosikan barang produksi perusahaannnya dan tidak lupa tentunya mencantumkan gelar kebanggaannya DHc. (Doctor Honoris Causa).Memang tidak ada yang salah dengan pencantuman gelar ini ini karena gelar tersebutmerupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan dan berdasarkan kriteria seleksi yang sangat selekif dan ketat.

Perguruan tinggi dapat memberikan gelar kehormatan pada seseorang yang dinilai benar-benar berprestasi luar biasa, menunjukkan keteladanan dan bermanfaat pada masyarakat luas dari tindakan dan pengetahuan yang dimilikinya.

“Royalnya” lembaga pendidikan tinggi dalam memberikan dan menghabur-hambur kan gelar ini sudah sampai pada tahap yang cukup mengkhawatirkan.Hal ini terlihat dari makin tidak seleksitifnya lembaga pendidikan tinggi yang notabene adalah penjaga gawang moral dan kualitas pendidikan.Lihat saja ada kecenderung pemberian Doktor Honoris causa ini diberikan kepada politikus dan tokoh-tokoh yang sedang memegang kekuasaan.

Sekali lagi tidak ada yang salah dengan hal ini asalkan politikus dan tokoh yang diberikan gelar kehormatan ini diberikan sesuai dengan prestasi dan capaian yang telah diperlihatkannya.Jika seleksi tidak dilakukan dengan benar dan hanya untuk kepentingan sesaat saja maka gelar Doktor Honoris Causa ini akan berubah menjadi Doctor HUMORIS Causa yang menjadi hiburan bagi yang melihat dan menontonnya.  Hal ini diperburuk dengan adanya orang yang hobinya menjadi kolektor gelar kehormatan.

Sering kali tampak kasap mata, bahwa hanya karena semata-mata seorang sedang menjabat saja dia diberikan gelar kehormatan tersebut.Kalaupun ini terjadi memang tidak salah dikatakan bahwa perguruan tinggi pemberi gelar tersebut sedang menjalin simbiosis mutualisme, yaitu kerja sama yang saling menguntungkan.Mungkin saja ini bukan perguruan tinggi secara keseluruhan tapi merupakan ulah sekelompok oknum yang sedang bergerilya mencari keuntungan dengan pemberian gelar kehormatan tersebut.

Cara yang paling gampang menguji apakah gelar kehormatan tersebut benar diberikan atas dasar prestasi yang sangat luar biasa dari si penerima adalah dengan melihat apakah ada aktivitas yang berhubungan dengan gelar kehormatannya tersebut setelah yang bersangkutan tidak lagi menjadi pejabat tinggi.Dari hasil pengamatan, tampak sekali setelah selesai menjabat tokoh yang diberi gelar kehormatan tersebut sama sekali tidak ada aktivitasnya lagi dan hilang bak ditelan bumi.Bahkan beberapa diantaranya ada yang berakhirmenyelesaikan sebagian dari perjalanan hidupnya di penjara.  Artinya gelar kehormatan ini hanya merupakan bentuk kehormatan pada saat dia menjabat saja.

Disamping pemberian gelar kehormatan, kampus sering kali berlomba-lomba mengundang para pejabat setingkat menteri, ketua partai dan tokoh lainnya ke kampus untuk memberikan kuliah umum.Padahal secara logika masih banyak sekali para dosen di perguruan tinggi tersebut yang memiliki level ilmiah melebihi sang pemberi kuliah umum.Artinya kampus telah melencengkan misinya dari kualitas ilmiah yang harus dijaganya.Jika yang bersangkutan bukan pejabat tinggi, maka dapat dipastikan perguruan tinggi tersebut tidak akan mengundangnya.

Sekali lagi pada kasus ini sedang terjadi simbiosis yang saling menguntungkan.Perguruan tinggi yang terkenal dengan proyek mercu suarnya akan tampak banyak sekali melakukan berbagi kuliah umum yang diberikan oleh para pejabat tinggi.

Perguruan tinggi mestinya dapat bercermin pada berbagai kejadian yang mencoreng dunia ilmiahnya.Banyak pejabat yang dulunya diundangke kampus untuk memberikan kuliah umum atau pejabat yang dulunya secara rame-rame “diperjuangkan” untuk memperoleh gelar tertinggi, yaitu gelar doctor akhirnya pernah merasakan hidup dipenjara setelah tidak lagi pejabat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah jika pada saat menempuh pedidikannya status beliau bukan pejabat apakah dapat lulus dengan baik dan memperoleh gelar doktornya?

Kalau kita tengok sedikit kebelakang banyak tokoh panutan ilmiah dan pimpinan kampus yang muncul bersinar bagaikan berlian tanpa melakukan simbiosis ini.Artinya dengan murni menjadikan perguruan tinggi sebagai “Power House” ilmiah dan penjaga gawang moral kebenaran ilmiah, perguruan tinggi dapat berprestasi tanpa dicemari oleh kepentingan sesaat seperti yang telah diuraikan di atas.

Pergeseran nilai pemberian Doctor Honoris Causa menjadi Doctor HUMORIS Causa "dapat" dipandang sebagai salah satu bentuk gratifikasi tingkat tinggi.Semoga perguruan tinggi dapat kembali pada fitrahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun