Hari ini 13 tahun yang lalu peristiwa yang dinamakan “bom Bali” mengguncang Indonesia. Dampak dari Bom Bali tidak saja melanda Bali namun juga menerpa keamanan Indonesia dan tentunya menjadi pusat perhatian dunia.
Hari ini, banyak koran-koran di Australia menjadikan peringatan peristiwa ini sebagai bahasan utamanya. Tidak heran memang jika Australia menaruh perhatian yang besar terhadap isu terorisme di Indonesia terutama setelah terjadinya Bom Bali. Pada peristiwa bom bali tersebut korban warga asing terbanyak adalah dari Australia.
Di tengah-tengah berita hangat tentang sepak terjang ISIS, kekhawatiran Australia akan terulangnya peristiwa ini di negara lain yang mengancam warganya memang cukup beralasan, apalagi ketika di era pemerintahan Tony Abbott terang-terangan memproklamasikan Australia sebagai negara terdepan dalam memerangi ISIS dan terosisme lainnya.
Kekhawatiran tersebut bertambah ketika minggu lalu seorang anak muda berumur 15 tahun mendatangi kantor polisi di wilayah Parramatta Sydney dan menembak mati seorang pekerja yang bekerja di kantor polisi tersebut dan juga terlibat baku tembak dengan polisi. Kematian pemuda yang masih berusia belia dalam baku tembak dengan polisi ini tentu saja menyadarkan Australia bahwa Astralia kini menjadi target serangan langsung pihak ekstrimis.
Rangkaian peristiwa ini tentu saja menyadarkan Australia bahwa dalam menangkal ektrimisme ini Australia harus bekerjasama dengan baik dengan Indonesia. Kekhawatiran tentang bangkitnya kembali estimisme di Indoesia yang akan berdampak langsung kepada warga Australia memang terungkap ketika salah satu wartawan The Australian Deborah Crassrel berhasil mewawancarai salah satu pelaku utama bom Bali Ali Imrom. Ali Imron merupakan satu satunya survivor dari lingkaran dalam pelaku bom Bali yang saat ini sudah mendeklarasikan dirinya sebagai aktivis “peaceful jihad”.
Pada bulan Agustus lalu kerja sama ini diperkuat kembali ketika Michael Keenan sebagai Justice Minister berkunjung ke Jakarta. Kekhawatiran Australia yang terbesar adalah terhadap ratusan militan yang berasal dari Indonesia yang saat ini sedang bertempur di negara Syria dan Irak sebagai bagian dari ISIS.
Sekembalinya dari medan perang ini diprediksi para pejuang ini akan mempraktekkan pengalaman perangnya dengan melakukan serangan di Indonesia untuk melanjutkan perjuangan Darul Islam yang bercita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia yang dirintis sejak tahun 1948.
Laporan tersebut juga menulis pernyataan Kepala kepolisian Jakarta Tito Karnavian yang melihat adanya momentum baru berdasarkan hasil analisis laman-laman yang terkait dengan ekstrimisme dengan adanya seruan untuk membentuk kalifah yang meliputi Indonesia dan Malaysia.