Perkembangan teknologi dan informasi tentunya membawa dampak yang sangat masif dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya dibidang pekerjaan yang dapat mempermudah proses kerumitan pekerjaan tersebut, tetapi dalam hal kegiatan basic juga turut terdampak, seperti pada bidang transportasi, kesehatan, edukasi, pembayaran/ekonomi, dan aktivitas berbelanja baik kebutuhan primer maupun sekunder.Â
Kemajuan teknologi dalam aktivitas berbelanja telah berhasil memberikan sebuah perubahan yang cukup besar terutama di Indonesia sendiri yang saat ini banyak sekali bisnis-bisnis e-commerce yang sering bermunculan dalam beberapa tahun terakhir.
Kehadiran e-commerce ini lah yang membawa perubahan dalam aktivitas berbelanja masyarakat, karena di era sekarang ini masyarakat dapat dengan mudah mencari, melihat, dan membeli sebuah produk ataupun jasa dengan menggunakan gawai, tanpa perlu datang langsung ke tempat penjualnya seperti pada era sebelum teknologi dan informasi berkembang.Â
Perubahan fundamental tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh pada gaya hidup seseorang yang secara beriringan juga berubah dan membentuk sebuah gaya hidup baru, terutama pada masyarakat Gen-Z. Tentunya gaya hidup tersebut akan menimbulkan dampak tersendiri yang menjadi problematika utama masyarakat zaman sekarang, yakni terkait dengan tingkat konsumenrisme yang cukup tinggi (menjadi konsumtif).
Generasi Z sendiri (biasa disebut dengan gen-z) merupakan generasi yang lahir setelah generasi millennial, dengan rentang tahun mulai dari tahun 1996-2012, dan merupakan generasi dengan proporsi penduduk tertinggi dengan nilai 27,94%, berdasarkan data dari sensus penduduk tahun 2020. Gen-Z juga dikenal dengan generasi yang masyarakatnya meyukai hal-hal instant, dan tidak merepotkan dirinya terhadap sesuatu hal mulai dari hal sederhana hingga hal yang besar.
Gen-Z juga merupakan generasi yang mudah terpengaruh dan mudah memengaruhi orang disekitarnya, termasuk juga orang-orang dari lintas generasi. Kebanyakan kasus, justru mereka lah yang mengajarkan orang dari generasi terdahulunya tentang teknologi dan perkembangan sesuatu hal di era sekarang ini.Â
Sehingga tak heran jika generasi-generasi terdahulu juga ada melek teknologi dan suka dengan aktivitas didalamnya karena pengaruh dari Gen-Z itu sendiri, disamping memang mereka (generasi sebelum Z) juga dipaksa untuk melek teknologi agar dapat mengikuti perkembangan zaman.
Untuk itulah mengapa sudut pandang Gen-Z mengenai proses berberlanja itu cenderung berbeda dengan generasi-generasi terdahulunya, dan gaya hidup berbelanja online itu sudah dapat dikatakan melekat dalam dirinya. Seperti dari hasil riset yang telah penulis lakukan dengan mewawancari 6 orang-orang terdekat disekitar saya, 4 dari 6 diantaranya itu sudah sangat ketergantungan dengan berbelanja online.Â
Mereka juga sudah menyadari bahwa berbelanja online merupakan gaya hidup sehari-hari mereka, karena hampir setiap hari mereka melakukan transaksi secara online, baik itu sekedar beli makan melalui jasa food delivery, hingga kebutuhan primer dan sekunder lainnya seperti groceries, berbelanja bulanan, baju, aksesoris, gadget, dan masih banyak lagi.Â
Hal tersebut tidak semata-mata karena kemudahan dan kecepatan yang mereka dapatkan, adanya voucher/diskon/promo yang tersedia di berbagai platform e-commerce juga menuntun mereka untuk terus berbelanja online dan tidak memiliki pemikiran atau sudut pandang untuk berbelanja offline karena adanya perbedaan harga yang cukup signifikan.
Gaya hidup berbelanja online itu dapat terbentuk karena habitus dan arena mereka yang sangat mendukung adanya aktivitas tersebut. Lingkungan sosial, tempat tinggal dan orang-orang terdekat mereka yang membuat mereka terbiasa dengan hal tersebut sehingga membentuk disposisi dan gaya hidup baru bagi mereka.Â
Gaya hidup yang sangat memudahkan dan menguntungkan tersebut tentu saja tidak selalu memberikan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari, karena gaya hidup tersebut juga memberikan dampak konsumtif yang cukup tinggi bagi masyarakat Gen-Z. Mereka menjelaskan bahwa adanya platform e-commerce yang memberikan voucher/promo/diskon besar-besaran dalam periode tertentu membuat mereka menjadi konsumtif dan cenderung berbelanja hal-hal yang tidak penting bagi mereka.Â
Hal tersebut dapat terjadi karena mereka merasakan fear of missing out (FOMO) jika mereka tidak mengikuti periode promo tersebut, karena berpikiran bahwa lingkungan sekitarnya atau orang-orang terdekatnya pasti turut mengikuti acara tersebut, selain mereka juga tidak mau menyia-nyiakan adanya harga yang menurut mereka cukup menjadi steal deal.
Akan tetapi walaupun 4 dari 6 narasumber itu memiliki sudut pandang dan kebiasaan berbelanja online yang sudah menjadi habit mereka sehari-hari, 2 narasumber diantaranya masih cenderung nyaman dengan berbelanja langsung di toko offline.Â
Bukannya mereka tidak mau mengikuti perkembangan zaman, namun lingkungan mereka lah yang tidak membentuk sebuah habitus dan arena untuk melakukan hal tersebut. Karena 2 narasumber ini berlingkungan di daerah yang rumahnya cukup jauh untuk dijangkau kurir pengiriman paket dan cukup rumit karena alamat rumah yang kurang jelas. Sehingga mereka beranggapan daripada berbelanja online yang nantinya akan memakan waktu yang cukup lama karena keterbatasan lingkungan yang kurang mendukung.Â
Tak hanya itu, mereka juga beranggapan bahwa berbelanja offline itu jauh lebih convenience karena dapat langsung melihat barangnya dan minim terjadinya kesalahan pemilihan barang. Tentunya pemikiran tersebut lagi-lagi juga dipengaruhi oleh habitus dan arena mereka yang kurang mendukung gaya hidup tersebut. Sehingga dalam pembentukan gaya hidup berbelanja online tersebut habitus dan arena dari sebuah kelompok atau individu itulah yang sangat memiliki pengaruh atau dampak yang besar.
Walaupun memang gaya hidup berbelanja online itu didominasi oleh Gen-Z, generasi-generasi terdahulu juga tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan gaya hidup tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti dari hasil observasi terhadap dua orang dengan generasi berbeda (yakni generasi millennial dan baby boomers), dalam kehidupan sehari-hari mereka juga menerapkan gaya hidup berbelanja online tersebut, terlebih lagi saat kemarin Covid-19 melanda yang mau tidak mau mengharuskan mereka untuk beradaptasi dengan kegiatan tersebut karena tidak memunkinkan untuk berbelanja secara offline.Â
Proses adaptasi mereka dengan belanja online membuat mereka kecanduan dan pada akhirnya juga menerapkan gaya hidup berbelanja online dalam kehidupan sehari-harinya, dengan alasan yang sama seperti 4 narasumber diatas yakni karena kemudahan, kecepatan, dan efisiensi biaya yang dapat dirasakan jika berbelanja secara online.
Dari hasil riset dan observasi yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup online itu terbentuk dari adanya habitus dan arena yang memengaruhi sebuah kelompok atau individu. Gaya hidup tersebut juga sudah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari terutama pada Gen-Z, walaupun memang beberapa diantaranya ada yang tidak menerapkannya.Â
Adanya gaya hidup tersebut juga menggiring mereka menjadi seseorang yang konsumtif karena fear of missing out (FOMO) yang mereka rasakan jika tidak melakukan hal-hal yang sama dengan habitus dan arenanya. Tentunya walaupun konsumenrisme dapat menjadi permasalahan yang terjadi saat ini, adanya gaya hidup tersebut juga dapat menjadi sebuah hal yang sangat positif karena dapat mempermudah kehidupan mereka sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H