Kelas menengah diharapkan menjadi pendorong pemahaman manajemen keuangan, literasi keuangan, yang penting dalam perekonomian yang kian maju.
Kelas menengah memiliki tingkat pendidikan tinggi, sehingga punya pemahaman soal manajemen keuangan, dan dapat mengelola keuangan secara sehat.
Pemahaman soal manajemen keuangan, misalnya mengetahui cara berinvestasi yang aman dan membedakan produk legal dan ilegal, akan membuat masyarakat lebih bijaksana mengevaluasi tawaran investasi, sehingga tidak mudah tertipu.
Hanya saja, fakta mengejutkan datang dari sejumlah survei mengenai perilaku kelas menengah, yang belakangan ini banyak dilakukan sejumlah media. Kelas menengah tidak se-maju yang dibayangkan selama ini.
Buramnya Literasi Keuangan Kelas Menengah
Tingkat literasi keuangan golongan ini mencemaskan seperti terlihat berikut ini:
- Indonesia di posisi terjelek kedua sebelum Pakistan dalam ranking literasi keuangan. Survei Visa Internasional financial literacy 2012 di 28 negara 25,500 responden. Mayoritas responden Indonesia memiliki dana darurat < 3 kali pengeluaran bulanan, jauh dari yang direkomendasikan, yaitu 6 kali pengeluaran bulanan. Responden Indonesia berdiskusi keuangan dengan anak hanya 5 hari dalam setahun. Tentu saja waktu yang jauh sekali dari ideal.
- Perilaku kelas menengah di 6 kota utama: penghasilan 75% untuk konsumsi, hanya 25% ditabung dan investasi. Hasil riset terbaru oleh Center for Middle Class Consumer Studies. Idealnya, minimum 30% penghasilan disisihkan untuk simpanan serta investasi, sisanya baru untuk konsumsi dan cicilan hutang.
- Investasi di reksadana kurang dari 10% asset, mayoritas ditempatkan di tabungan. Survei teerpisah dari masing – masing Mark Plus di 2012 dan Harian Kompas 2013 yang melihat kepemilikan produk keuangan. Karena rendahnya return tabungan, asset di tabungan harusnya kecil, hanya untuk dana darurat dan kebutuhan jangka pendek. Mayoritas sebaiknya ditempatkan dalam investasi return tinggi, seperti reksadana, saham dan obligasi.
- Dalam mempersiapkan dana pendidikan, mayoritas menempatkan di tabungan (43.5%) dan kurang dari 1% di reksadana. Hasil survei Harian Kompas pada Mei 2013 melalui telpon ke 700 an responden di 12 kota besar menanyakan bagaimana menyiapkan dana pendidikan anak. Ini bukan pilihan yang bijaksana. Tabungan hanya memberikan keuntungan 4-5% setahun, yang tidak cukup mengejar kenaikkan biaya pendidikan yang sekitar 10% setahun. Pilihan seharusnya adalah reksadana, karena memberikan keuntungan yang sepadan atau lebih tinggi dari inflasi biaya pendidikan (berdasarkan pengalaman historis), namun mayoritas responden justru tidak memilih reksadana.
Yang lebih mengejutkan, ketika ditanya lebih lanjut, apakah mereka merasa aman dan cukup dengan pilihan ini (memilih tabungan ketimbang instrumen yang lain seperti reksadana), mayoritas menjawab ‘Ya’. Jadi, mereka tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H