Suhu politik tanah air semakin panas, paska deklarasi (bakal) calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Tanpa di komando, masing-masing kubu telah menabuh genderang perang untuk mengkampanyekan sosok pilihan dan menyerang pihak lawan. Alhasil, berita-berita “bernada miring” berseliweran dan memenuhi sesak ruang publik. Masyarakat menjadi bingung dan semakin resah melihat ulah elit pemimpin negeri.
Hal diatas mungkin bisa diterima sebagai konsekuensi dari mulainya sebuah kompetisi untuk merebut kursi kepresidenan. Kandidatnya adalah Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla. Menariknya, masing-masing kandidat diprediksi memiliki kekuatan hampir seimbang untuk memenangi pilpres 2014.
Pasangan Prabowo-Hatta memiliki faktor dominan kekuatan di koalisi. Pasangan ini di dukung oleh Partai Gerindra (11,81%), Golkar (14,75%), PKS (6,79%), PPP (6,53%), PAN (7,59%) dan PBB (1,46%). Totalnya Prabowo-Hatta mengantongi dukungan 48,93 % dari total jumlah suara sah nasional. Berbeda halnya dengan Jokowi-JK, yang hanya didukung oleh koalisinya yaitu PDIP (18,95%), Nasdem (6,72%), PKB (9,04%), Hanura (5,26%) dan PKPI (0,91%). Total dukungan Jokowi-JK hanya mengantongi dukungan sebesar 40,88 %.
Tetapi pemilihan presiden berbeda dengan pemilihan legislatif, sumbangsih faktor ketokohan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam memenangkan pemilihan. Kekuatan partai politik boleh jadi—bila diurutkan berdasarkan skala prioritas—berada dibawah faktor ketokohan kandidat dalam berkompetisi dalam pilpres. Dalam beberapa survei yang dilansir, Jokowi dinilai masih memimpin perolehan tingkat elektabilitas dibanding Prabowo.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (tempo.co, 14/5/2014), menunjukkan selisih tingkat elektabilitas Jokowi dan Prabowo terus berkurang. Burhanuddin Muhtadi, Direktur eksekutif Indikator mengatakan, "Pada Maret 2014 dukungan pada Prabowo sebesar 20 persen, sedangkan Jokowi mencapai 55,7 persen. Namun pada bulan April sebelum pemilu, dukungan kepada Joko Widodo menurun menjadi 43,7 persen dan pada Prabowo meningkat menjadi 26,1 persen. Selisih dukungan untuk keduanya semakin berkurang hingga tinggal 15, 9 persen. Jokowi di angka 39,7 persen dan Prabowo di angka 23,8 persen"
Hasilnya prabowo yang unggul dalam peta suara dalam koalisi, harus siap bertarung dengan Jokowi yang memiliki keunggulan dalam elektabilitas. Sulit untuk menebak hasil dari kancah perpolitikan tanah air. Semuanya begitu dinamis dan tak kalah penting politik dimenit-menit terakhir (politic last minute) masih cukup menentukan perolehan suara dari masing-masing kandidat. Apalagi kalau bukan--yang paling berbahaya dalam demokrasi kita--politik uang (money politic).
Politik uang dalam demokrasi ibarat pepatah “gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”. Demokrasi yang telah dibangun oleh segenap elemen masyarakat, seketika runtuh oleh oknum-oknum yang tidak siap berkompetisi secara sehat. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tanpa menghormati nilai-nilai, prinsip dan aturan main dalam demokrasi. Akibatnya, masyarakat dan Negara inilah yang akan menanggungnya kelak bila si pemenang lahir dari proses tidak baik dan benar.
Menyudahi Kampanye Hitam
Apa yang terjadi belakangan dalam berita di media, jejaring sosial, pesan berantai (short massage service) membuat masyarakat menjadi resah tentang situasi politik yang minim edukasi. Masing-masing kandidat berusaha mengangkat dirinya dengan cara menjatuhkan pihak lawan. Tak pelak, kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negative (negative campaign) pun menjadi konsumsi publik sehari-hari.
Belum lagi ulah media yang memiliki afiliasi politik tertentu terhadap masing-masing calon akhirnya lebih memilih memihak, bahkan cenderung memprovokasi masyarakat untuk memilih calon tertentu, sekaligus mempengaruhi masyarakat untuk tidak memilih pasangan yang lain. Media akhirnya terbelah, ada yang lebih condong ke kandidat si A dan kandidat si B.
Sebenarnya, kampanye negatif tidaklah selalu bermakna buruk. Berbeda halnya dengan kampanye hitam yang biasanya memunculkan fitnah. Secara teori, kampanye negatif adalah mengemukakan fakta-fakta negatif dari calon atau partai tertentu. Berbanding terbalik dengan kampanye hitam yang menuduh seseorang tanpa berdasarkan data atau fakta yang jelas dan terukur alias fitnah.
Ambil contoh, apa yang dialami oleh salah seorang kandidat yaitu Joko Widodo yang dikabarkan dirinya telah meninggal dunia dan diisukan merupakan anak dari etnis non peribumi. Hal ini jelas-jelas merupakan kampanye hitam, tuduhan tanpa didasari fakta dan data. Jokowi telah mengklarifikasi kebenarannya dengan menunjukkan bukti pendukungnya.
Kampanye negatif di satu sisi, terkadang ada baiknya. Dengan masing-masing kandidat memberikan penilaian negatif yang tentunya didasari fakta dan data yang ada. Masyarakat boleh semakin menguasai informasi secara komprehensif dan utuh dari masing-masing kandidat. Sehingga, dalam menentukan pilihannya nanti di 9 Juli, masyarakat betul-betul yakin dengan pilihannya.
Untuk itu, masing-masing kandidat harus menyudahi kampanye hitam. Masyarakat sudah cukup cerdas untuk menilai masing-masing kandidat. Jangan sampai kampanye hitam menjadi boomerang akibat kesalahan dalam menilai kemampuan masyarakat.
Dan yang lebih penting lagi, Tidak hanya dalam tataran ide strategi melawan kampanye hitam, tetapi juga hal operasionalisasi sampai hal teknis, kandidat harus memperhatikan dan memastikan tim sukses bekerja mengikuti aturan yang ada. Rumusnya, baik tidaknya suatu proses pemilu sangat ditentukan oleh itikad baik dari masing-masing kandidat dalam berkompetisi.
Membangun Tradisi
“Deklarasi Damai Pemilu Berintegritas” yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum—sebelum masa kampanye berlangsung—sebuah tradisi yang mempunyai nilai pengharapan. Setidaknya, dalam konteks konsepsi ideal, masyarakat boleh sedikit lebih tenang akan janji politik dari masing-masing kandidat untuk melakukan kampanye secara damai dan tentunya berintegritas.
Demokrasi kita hari ini, boleh jadi telah menunjukkan masa depannya. Sebagai Negara demokrasi yang memiliki jumlah pendudukan keempat terbesar di dunia—setelah Cina, Amerika dan India—dan potensi perbedaan terbesar didunia—baik itu, etnis, agama, suku, bahasa dan sebagainya, sistem demokrasi di Indonesia mendapat perhatian yang besar dari dunia.
Inisiatif yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk melakukan deklarasi pemilu damai dan berintegritas perlu diapresiasi. Tak banyak Negara melakukannya, meskipun dalam sistem demokrasi yang sama. Demokrasi kita mengajarkan kita untuk berkompetisi secara sehat, belajar menerima kekalahan walaupun pahit, bergandengan tangan setelah selesai berkompetisi dan mendahulukan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan dan kebaikan bangsa dan Negara.
Tradisi deklarasi ini, harusnya tidak hanya dimaknai seremoni belaka. Tetapi lebih jauh dan dalam lagi, makna substantif dalam demokrasi kita sendiri yaitu untuk menuju keadaban demokrasi yang paripurna. Yang selalu mendahulukan kepentingan khalayak banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan, serta taat asas dalam bernegara.
Deklarasi damai pemilu berintegritas diharapakantidak hanya lips service belaka, atau hanya menjalankan formalitas dari mekanisme pemilu. Masyarakat berharap pemilu yang damai dan berintegritas adalah proses dan tujuan demokrasi. Sehingga, siapapun yang terpilih nantinya, dialah yang memegang amanat penderitaan rakyat. Dengan begitu, kita telah membangun dan juga mewarisi sesuatu yang baik bagi masa depan bangsa dan Negara ini kedepan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H